BAB I
PENDAHULUAN
Banyak para pakar yang menjelaskan tentang sumber hukum. dalam pandangan
mereka tak jarang mereka berbeda dengan yang lain dalam mengemukakan tentang
sumber hukum ini seperti:
ahli ahli sejarah
Yang menjadi sumber hukum adalah undang
- undang dan sistem –sistem hukum yang tertulis dari suatu
masa termasuk dokumen dokumen,
surat surat, dan keterangan- keterangan dari suatu masa yang berlaku pada
masa tersebut. Sumber hukum dalam arti sejarah ini dibagi menjadi dua
yaitu:
a.
Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenalnya
hukum secara historis, dokumen-dokumen kuno, lontar dan sebagainya
b.
Sumber hukum yang merupakan tempat pembentukan undang-undang mengambil
bahannya.
Menurut ahli agama
Sumber hukum adalah apa
yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang berasal dari tuhan berupa wahyu yang
mengatur bagaimana manusia hidup dengan
baik.
Menurut ahli sosiologi
Yang menjadi sumber
hukum adalah masyarakat dengan segala lembaga lembaga social yang ada
didalamnya dan apa yang dirasakan sebagai hokum dalam masyarakat dan bagi
yang melanggarmya diberikan sanksi.
Menurut ahli filsafat
Sumber hukum dalam arti filosofis, dibagi menjadi dua yaitu
a. Sumber isi hukum,
Disini
ditanyakan isi hukum itu asalnya dari mana. Adatiga pandangan yang mencoba
menjawab tantangan pertanyaan ini yaitu:
1.
Pandangan teoritis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dariTuhan
2. Pandangan hukum kodrat,
yaitu pandangan bahwa isi hukum berasaldari akal manusia
3.
Pandangan mazhab historis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasaldari
kesadaran hukum.
- Sumber kekuatan mengikat dari
hukum, mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk
pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaedah hukum bukan
semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa,
tetapi karena kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan
atau kepercayaan.
untuk
lebih jelasnya akan dibahas pada bab pembahasan dibawa ini
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen,
naskah, dsb yangdipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada
masa tertentu yang menimbulkan aturan atruran dan mempunyai kekuatan yang
bersifat memaksa yaitu apabila dilanggar akan mengakibatkan timbulnya
sanksi yang tegas.
· Menurut Zevenbergen,
sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; atau sumber yang menimbulkan hukum.
· C.S.T. Kansil
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum ialah, segala apa saja yang
menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni
aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan
nyata.[1]
Yang dimaksudkan dengan segala apa saja, adalah faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum. Sedang faktor-faktor yang merupakan
sumber kekuatan berlakunya hokum secara formal artinya ialah, dari
mana hukum itu dapat ditemukan, dari mana asal mulanya hukum, di mana
hukum dapat dicari atau di mana hakim dapat menemukan hukum sebagai dasar
dari putusannya.
·
Menurut Achmad Ali sumber hukum adalah tempat di mana kita
dapat menemukan hukum. Namun perlu diketahui pula bahwa adakalanya sumber hukum
juga sekaligus merupakan hukum, contohnya putusan hakim.
B. Pembahgian Sumber Hukum
Pada umumnya para pakar membedakan sumber hukum ke dalam kriteria.
Sumber hukum materiil dan Sumber hukum formal.
a.
Sumber Hukum Materiil
Ialah tempat dimana hukum itu di ambil.
Sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentuk hukum misalnya
hubungan social politik, situasi sosial ekonomi, pandangan keagamaan dan
kesusilaan hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, keadaan
geografis Contoh:
Seorang ahli ekonomi akan mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi
dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulna hukum. Sedangkan
bagi seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan
bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang
terjadi di dalam masyarakat.
b.
Sumber Hukum Formal
Yaitu sumber hukum dari mana secara langsung dapat dibentuk hukum
yang akan mengikat masyarakatnya. Dinamai dengan sumber hukum
formal karena semata-mata mengingat cara untuk mana timbul hukum positif,
dan bentuk dalam mana timbu hukum positif, dengan
tidak lagi mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum tersebut.
Sumber-sumber hukum formal membentuk pandangan-pandangan
hukum menjadi aturan-aturan hukum, membentuk hukum sebagai kekuasaan yang
mengikat. Jadi sumber hukum formal ini merupakan sebab
dari berlakunya aturan-aturan hukum.Yang termasuk sumber-sumber Hukum
Formal adalah :
a)
Undang-Undang
Adalah peraturan negara yang dibentuk oleh pembuat undang undang
yang mengikatseluruh warga negara baik pemerintah maupun warga masyarakat
lainnya.
Undang-undang dapat dibedakan atas :
·
Undang-Undang dalam arti formil, yaitu setiap keputusan yang
merupakan undang-undang karena cara pembuatannya. Di Indonesia UU dalam arti
formil ditetapkan oleh presiden bersama-sama DPR, contoh UUPA, UU tentang APBN,
dll.
· Undang-Undang dalam arti
materiil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang menurutisinya mengikat
langsung setiap penduduk. Contoh: UUPA ditinjau dari
segi kekuatanmengikatnya undang-undang ini mengikat setiap WNI di
bidang agraria.
b)
Kebiasaan
Yaitu perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam
hal yang sama.Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan
kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga
tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itudirasakan sebagai pelanggaran
perasaan hukum, maka dengan demikian timbulah suatukebiasaan hukum, yang
oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.Selain kebiasaan dikenal pula adat
istiadat yang mengatur tata pergaulan masyarakat.Adat istiadat adalah himpunan
kaidah sosial yang sudah sejak lama ada dan merupakan tradisiyang umumnya
bersifat sakral, mengatur tata kehidupan sosial
masyarakat tertentu.Kebiasaandan Adat istiadat hidup dan berkembang
di masyarakat tertentu sehingga kekuatan berlakunyaterbatas pada
masyarakat tersebut.
Adat istiadat dapat menjadi hukum adat jika mendapatdukungan sanksi hukum.Perbedaan prinsipil
antara hukum kebiasaan dan hukum adat yaitu,
o Hukum kebiasaan
seluruhnya tidak tertulis sedangkan hukum adat, ada yang tertulis dan ada yang tidak
o Hukum kebiasaan berasal
dari kontrak social sedangkan hokum dapat berasal dari kehendak nenek
moyang agama dan tradisi masyrakat.
Namun
demikian tidak semua kebiasaan itu pasti mengandung hukum yangg baik dan
adil oleh sebab itu belum tentu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti
menjadi sumber hokum formal. Suatu
adat istiadat dan kebiasaan dapat menjadi hukum kebiasaan atau hukum tidak
tertulis apabila telah memenuhi syarat-syarat yaitu
I.
Syarat Materiil
Kebiasaan itu berlangsung terus menerus, dilakukan berulang2 di
dalam masyarakat tertentu dan dilakukan dengan tetap.
II.
Syarat Psikologis
Ada keyakinan warga masyarakat bahwa perbuatan atau kebiasaan
itu masuk akal sebagai suatu kewajiban (opinio necessitatis = bahwa
perbuatan tsbmerupakan kewajiban hukum atau demikianlah seharusnya)
= syarat intelektual. Keyakinan hukum itu memili 2 arti :a. Keyakinan
hukum dalam arti materiil (isinya baik)b. Keyakinan hukum dalam arti formil
(tidak dilihat isinya tetapi ditaati)
III. Syarat sanksi
Adanya sanksi apabila kebiasaan itu dilanggar atau tidak ditaati
oleh warga masyarakat.
c)
Traktat atau Perjanjian Internasional
Yaitu perjanjian antar negara/perjanjian internasional/ perjanjian
yang dilakukan oleh duanegara atau lebih. Akibat perjanjian ini ialah
bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat padaperjanjian yang mereka adakan
itu. Hal ini disebut Pacta Sun Servada yang berarti bahwa perjanjian
mengikat pihak-pihak yang mengadakan atau setiap perjanjian harus ditaati
danditepati oleh kedua belah pihak.
Macam-macam
Traktat :
· Traktat bilateral.
yaitu traktat yang diadakan hanya oleh 2 negara, misalnya
perjanjian internasional yangdiadakan antara pemerintah RI
dengan pemerintah RRC tentang Dwikewarganegaraan.
· Traktat Multilateral
yaitu
perjanjian internaisonal yang diikuti oleh beberapa negara, misalnya
perjanjiankerjasama beberapa negara di bidang pertahanan dan ideologi seperti
NATO.
· Traktat Kolektif /
Traktat terbuka.
Yaitu perjanjian yang
dilakukan oleh oleh beberapa negara atau multilateral yang kemudianterbuka
untuk negara lain terikat pada perjanjian tersebut. Contoh: Perjanjian
dalam PBBdimana negara lain, terbuka untuk ikut menjadi anggota PBB yang
terikat pada perjanjian yang ditetapkan oleh PBB
tersebut.
d)
Yurisprudensi
Pengertian yurisprudensi di Negara-negara yang
hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di mana
yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di
Negara-negara Eropa Kontinental (termasuk Indonesia) hanya berarti putusan
pengadilan.
Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan
dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden. Sudikno
mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu
pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan
oleh suatubadan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu Negara serta bebas
dari pengaruh apaatau siapa pundengan cara memberikan putusan yang
bersifat mengikat dan berwibawa. Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa
di samping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang
dimuat dalam putusan. Juga yurisprudensi dapat berarti putusan pengadilan.
Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam
dua macam
1)
Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan pasti,yang terdiri dari
· Putusan
perdamaianPutusan pengadilan negeri yang tidak di banding
· Putusan pengatilan
tinggi yang tidak di kasasi
· Seluruh putusan Mahkamah
Agung
2)
Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim
yang selalu diikuti oleh hakimlain dalam perkara sejenis.
e)
Doktrin
Pengertian doktrin menurut pendapat sarjana hukum (doktrin) adalah
pendapat seseorang atau beberapa orang sarjanahukum yang terkenal dalam
ilmu pengetahuan hukum.
Doktrin ini dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dlam
menjatuhkan putusannya. Doktrin bukan hanya berlaku dalam pergaulan hukum
nasional, melainkan juga dalam pergaulan hukum internasional, bahkan doktrin
merupakan sumber hukum yang paling penting.[2]
C.
Sumber Hukum Islam
Sumber-sumber
hukum islam (mashadir al-syari’at) adalah dalil –dalil syari’at yang
darinya hukum syari’at digali. Sumber-sumber hukum islam dalam
pengklasifikasiannya didasarkan pada dua sisi pandang. Pertama, didasarkan pada
sisi pandang kesepakatan ulama atas ditetapkannya beberapa hal ini menjadi
sumber hukum syari’at.
Pembagian ini menjadi tiga bagian :
1.
Sesuatu Yang Telah Disepakati Semua Ulama Islam Sebagai Sumber
Hukum Syari’at Yaitu Alquran Dan Sunnah.
Dan adapaun pengertian
alquran adalah Pendapat para ulama pada umumnya yang menyatakan bahwa
Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dan
dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian demikian senada dengan yang
diberikan Al-Zarqani. Menurutnya Alquran adalah lafal yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw. mulai dari awal surat Al-Fatihah, sampai dengan akhir surat
Al-Nas.[3]
2. Sesuatu yang disepakati oleh mayoritas jumhur
ulama sebagai sumber syariat yaitu ijma’ dan qiyas
Pengertian
Ijma’ menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf, ijma’ menurut istilah ulama ushul
ialah kesepakatan semua mujtahidin diantara umat islam pada suatu masa setelah
kewafatan Rasulullah SAW. atas hukum syar’I mengenai suatu kejadian atau kasus.
Prof. Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwasanya ijma’ itu adalah kesepakatan
para mujtahid dalam dalam suatu masa setelah wafatnya Rosulullah SAW, terhadap
hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly).[4]
Qiyas
menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan
sesuatu dengan sejenisnya. Ada beberapa golongan pendapat.Golongan pertama
menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu
pandangan para mujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan
ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan
hujjat illahiyah yang dibuat syari' sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum.[5]
3. Sesuatu yang menjadi perdebatan para ulama
bahkan oleh mayoritasnya yaitu
· Uruf
(tradisi)
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di
pandang baik dan diterima oleh akal sehat” sedangkan secara terminology,
seperti yang dikemukakan oleh Abdul -karim Zaidah, istilah ‘Urf berarti :Sesuastu
yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau
perkataan.[6]
· Istishab
(pemberian hukum berdasarkan keberadaan pada masa lampau),
Pengertian
istishab menurut ulama ushul fiqh membawa maksud menetapkan hukum pekerjaan
yang ada pada masa lalu, karena disangka tidak ada dalil pada masa yang akan
datang.[7]
· Maslaha
Mursalah
Menurut
bahasa maslaha mursalah mencari kemaslahatan, sedangkan menurut ahli ushul
fiqhi adalah menetapkan hokum suatu masalah yang tidak ada nashnya dengan
berdasarkan pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau
boleh juga disebut dengan memberikan hokum syara’ kepada kasus yang tidak ada
dalam nas atau ijma atas dasar memelihara kemaslahatan.[8]
· Syar’u
Man Qablana (syari’at sebelum kita),
Syar`u secara
etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim fa`ilnya
secara bahasa adalah tempat yang didatangi orang yang ingin minum yang
dilintasi manusia untuk menghilangkan rasa haus mereka.[9] Syariat juga diartikan
sebagai jalan yang lurus atau thariqatun mustaqimatun sebagaimana
diisyarakan dalam Alquran Surat Al-Jatsiyah: 18. [10]
Dalam kaitannya dengan
syariat Islam, maka dapat dikatakan bahwa syariat adalah hukum yang dibawa oleh
Nabi Muhammad Saw. yang didalamnya terdapat berbagai aturan yang diperuntukkan
bagi manusia. Beni menukil tulisan Al-Maududi bahwa syariat merupakan ketetapan
Allah dan RasulNya yang berisi ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat
global, kekal, dan universal yang diberlakukan bagi semua hambaNya berkaitan
dengan masalah akidah, ibadah, dan muamalah.[11]
Pada prinsipnya, syariat
yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan
syariat yang dibawa Nabi Muhammad.Diantara asas yang sama
itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang
janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang
berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.[12]
Dengan demikian, Syar`u
Man Qablana adalah hukum-hukum Allah yang dibawa oleh para Nabi/Rasul
sebelum Nabi Muhammad Saw. dan berlaku untuk umat mereka pada zaman itu.
· Madzhab
shahabat.
Secara etimologi
Mazhab kata-kata
mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba. Zahaba artinya
pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan.
Kata-kata yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya
berarti jalan atau cara. Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab) adalah
istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu
yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.
Sesuatu dikatakan mazhab
bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para
ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang
dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang
menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya,
bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.[13] Dengan demikian,
Mazhab sahabat adalah jalan yang ditempuh para sahabat.
Pengertian mazhab menurut
istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah dari fatwa-fatwa dan
pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun
lainnya. Dalam buku Nasrun Harun, mengungkapkan Mazhab Shahabi berarti
“pendapat para sahabat Rasulullah saw.” Yang dimaksud pendapat sahabat
adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para
ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadist
tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.
Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut.[14]
Tentang
pembagian ketiga ini, al-Nabhani menyatakan bahwa hal-hal yang disangka sebagai
sumber hukum adalah hal-hal yg ditemukan sisi argumentasinya bahwa hal-hal
tersebut adalah hujjah, tetapi status dalil tersebut adalah dzanni atau tidak
sesuai dengan apa yg ditunjukkannya. Diantaranya yang terpenting adalah syariat
sebelum kita, madzhab sahabat, istihsan dan maslaha mursalah.
Selanjutnya
mengenai istishhab, an-Nabhani mengomentari bahwa ia bukan dalil syara’. Karena
penetapan sesuatu sebagai dalil syara’ haruslah dengan hujjah yg qath’i. Sedangkan
dalam istishhab tidak ada hujjah qath’i yg menetapkannya menjadi dalil syara’.
Istishhab tak lebih hanyalah hukum syara’ sehingga dalam penetapan hukumnya
cukup menggunakan dalil dzanni. Ia adalah metode pemahaman dan istidlal (metode
pencarian dalil) bukan sebuah dalil. Senada dengan pernyatan ini, al-‘Amudi
tidak menganggap istishhab sebagai sumber hukum.
Sedangkan sadd
al-dzara’I (langkah antisipasi) al-‘Amudi tidak menganggapnya sebagai
bagian dari dalil yang mu’tabarah (diperhitungkan legalistasnya) ataupun
mauhumah (yang dipersangkakan legalistasnya). Ia bukanlah sumber hukum
melainkan hanya sekedar kaidah yg menjadi subordinat dari kaidah dasar ma’alat
al-af’al (orientasi kemudian). kaidah ini beserta kaidah-kaidah subordinatnya
semisal sadd al-dzara’I , kaidah al-hiyal (rekayasa hukum) dan kaidah mura’at
al-khilaf (menghindarkan ketidaksesuaian dengan apa yg disyari’atkan) dan yg
lain,sumbernya adalah bahwa syari’at datang dengan tujuan mengedepankan
maslahah dan menghindarkan mafsadah.
Pembagian
kedua, didasarkan pada cara pengambilan dan perujukannya,sumber hukum islam
dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu sumber-sumber hukum yg dirujuk
secara naql (dogmatic) yakni al-Qur’an dan al-Sunah. Hal lain yg disamakan
dengan bagian ini adalah ijma’, madzhab sahabat,dan syar’u man qablana. Bagian
kedua adalah sumber-sumber hukum islam yg diruju’ secara ‘aql (penalaran logis)
yakni qiyas. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah istihsan,maslahah
mursalah,dan istishhab.
Wahbah
al-Zuhaili memaparkan analisisnya mengenai sumber-sumber islam secara ringkas.
Menurutnya batasan ringkas mengenai dalil ini bahwasanya dalil-dalil adakalanya
merupakan wahyu dan bukan wahyu. Dalil yg merupakan wahyu adakalanya dibacakan
dan tidak dibacakan. Wahyu yg dibacakan adalah al-Qur’an dan wahyu yg tidak
dibacakan adalah al-sunah. Sedangkan dalil yg bukan merupakan wahyu bila
merupakan kesepakatan pendapat atau analisis mujtahid disebut ijma’, bila
meruapakan analogi suatu hal terhadap hal lain mengenai status hukumnya Karena
adanya persamaan dalam ‘illatnya maka disebut qiyas. Sedangkan bila tidak
memiliki criteria-kriteria di atas maka dinamakan istidlal,dan klasifikasi ini
memiliki bermacam-macam jenis.
Selanjutnya
ia mengulas sisi independensi dalil-dalil ini menjadi dua klasifikasi. Dalil – dalil
ini adakalanya merupakan sumber hukum mandiri dalam pensyari’atan yaitu
al-Qur’an, al-sunah,ijma’ dan sumber-sumber yg berkaiatn dengannya sebagaimana
istihsan,’urf dan madzhab sahabat. Adakalanya dalil-dalil ini merupakan sumber
hukum islam yg memiliki ketergantungan, tidak mandiri yaitu qiyas. Yang
dimaksud dalil mandiri adalah bahwa sumber hukum ini dalam penetapan hukumnya
tidak membutuhkan pada yang lain. Sedangkan qiyas diklasifikasikan tidak
mandiri karena dalam penetapan hukum ia masih membutuhkan pada ashl (kasus
lama) atau maqis ‘alaih (sumber analogi) yg terdapat dalam
al-Qur’an,al-sunah,dan ijma’. Selain itu dalam penggunaannya qiyas membutuhkan
pengetahuan dan analisis yg mendalam tentang ‘illat dari hukum ashl. Sedangkan
ijma’ walaupun dalam penggunaannya masih membutuhkan sandaran namun hal ini
tidak mencegah keberadaanya sebagai dalil mandiri karena hal tersebut
dibutuhkan sebagai legalitas dan keabsahan ijma’ sebagai sumber hukum,bukan
dari sisi istidlal (penggalian hukumnya) nya, berbeda dengan qiyas.
D.
Tertib Urutan Sumber-Sumber Hukum Islam
Bila
ditelusuri lebih jauh,sumber-sumber hukum islam baik yg telah disepakati para
ulama dalam penetapannya maupun yang masih manjadi perdebatan pada dasarnya terkonsentrasi
pada sumber uhukum naqliyah( dogmatic) yakni al-Qur’an dan al-sunah. Karena
sumber –sumber hukum tidaklah ditetapkan keabsahannya melalui potensi akal
namun bergantung kepada adanya legitimasi dari la-Qur’an dan al-sunah. Karena
itulah al-Qur’an dan al-sunah adalah dalil primer dalam perujukan hukum-hukum
syari’at.
Hal ini didasarkan pada 2 sisi
a.
Muatan al-Qur’an dan al-sunah mencakup keterangan hukum-hukum
parsial dan cabangan secara detail sebagaimana hukum-hukum
zakat,perdagangan,dan sanksi-sanksi pelanggaran.
b.
Muatan al-Qur’an dan al-sunah yg mencakup kaidah universal yg
menjadi sandaran hukum-hukum parsial dan cabangan sebagaimana ijma’ adalah
hujjah dan merupakan sumber hukum, begitu pula qiyas dan lain sebagainya.
c.
legalitas al-Sunah sebagai sumber hukum juga tertera dalam
al-Qur’an. Hal ini juga didasarkan pada dua sisi pandang yaitu:
a.
Al-Qur’an memerintahkan untuk mengamalkan dan berpedoman kepada
al-sunah.
b.
Al-Sunah itu sendiri memiliki fungsi sebagai penjelas dari
kandungan al-Qur’an.
Berdasarkan
alasan-alasan di atas maka al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum
islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum syari’at al-Qur’an haruslah
dikedepankan. Bila di al-Qur’an tidak ditemui maka beralih kepada al-Sunah
karena al-sunah adalah penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di al-sunah
tidak ditemukan maka beralih kepada ijma’ karena sandaran ijma’ adalah
nash-nash al-Qur’qn dan al-Sunah. Bila dalam ijma’ tidak ditemukan maka
haruslah merujuk kepada qiyas.
Dengan demikian maka tertib urutan hukum islam adalah al-Qur’an, al-Sunah, ijma’ dan qiyas. Hal ini berdasarkan hadits yg diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika ia diutus oleh Rasulullah SAW menjadi qadli di Yaman. Rasulullah bertanya : “Ketika dihadapkan suatu permasalahan, dengan cara bagaimana engkau member putusan? Mu’adz menjawab “ Saya akan memutusinya berdasarkan kitab Allah. Rasulullah bertanya lagi “ Bila engkau tidak menemuinya di dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab” Saya akan memutusinya dengan sunah Rasulullah”. Rasul kembali bertanya” Bila tidak engkau temukan di dalam sunah Rasulullah?” Mu’adz menegaskan “ Saya akan berijtihad berdasarkan pendapat saya dan saya akan berhati-hati dalam menerapkannya.”kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata” Segala puji bagi Allah yg memberi petunjuk pada utusan Rasulullah dengan apa yg diridlai oleh Allah dan rasul-Nya”.
Diriwayatkan dari Abu Bakar ra,ketika beliau menjumpai suatu permasalahan, maka beliau merujuk kepada kitabullah. Bila tidak dijumpai di dalam kitabullah maka beliau memutusinya dengan sunah Rasulullah SAW. Bila beliau kesulitan menemukannya,maka beliau mengumpulkan beberapa tokoh pilihan dari sahabat kemudian mengajaknya musyawarah. Bila forum bersepakat maka Abu Bakar memutusinya dengan kesepakatan itu. Demikian pula langkah Umar bin Khathab serta sahabat yg lain dan diikuti oleh kaum muslimin setelahnya.[15]
Dengan demikian maka tertib urutan hukum islam adalah al-Qur’an, al-Sunah, ijma’ dan qiyas. Hal ini berdasarkan hadits yg diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika ia diutus oleh Rasulullah SAW menjadi qadli di Yaman. Rasulullah bertanya : “Ketika dihadapkan suatu permasalahan, dengan cara bagaimana engkau member putusan? Mu’adz menjawab “ Saya akan memutusinya berdasarkan kitab Allah. Rasulullah bertanya lagi “ Bila engkau tidak menemuinya di dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab” Saya akan memutusinya dengan sunah Rasulullah”. Rasul kembali bertanya” Bila tidak engkau temukan di dalam sunah Rasulullah?” Mu’adz menegaskan “ Saya akan berijtihad berdasarkan pendapat saya dan saya akan berhati-hati dalam menerapkannya.”kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata” Segala puji bagi Allah yg memberi petunjuk pada utusan Rasulullah dengan apa yg diridlai oleh Allah dan rasul-Nya”.
Diriwayatkan dari Abu Bakar ra,ketika beliau menjumpai suatu permasalahan, maka beliau merujuk kepada kitabullah. Bila tidak dijumpai di dalam kitabullah maka beliau memutusinya dengan sunah Rasulullah SAW. Bila beliau kesulitan menemukannya,maka beliau mengumpulkan beberapa tokoh pilihan dari sahabat kemudian mengajaknya musyawarah. Bila forum bersepakat maka Abu Bakar memutusinya dengan kesepakatan itu. Demikian pula langkah Umar bin Khathab serta sahabat yg lain dan diikuti oleh kaum muslimin setelahnya.[15]
Wallau a’lam bi
al-shawab.
[1] C.S.T. Kansil,
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989)
[3] Prof.
Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam, hlm. 68
[4] Prof.
Dr. Rahmat Safe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007).
Hal : 69
[5] Prof.
Dr. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, Pustaka Setia, 1998), hal 68
[6] Prof. Dr. Satria Effendi, M. zein, MA
[7] Muhammad
Ali Madani Busaq, 2000, Dar
Al Buhus Liddirasat Al Islamiyah Wa Ihya Itturas, Dubai. H. 79.
[12] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, revisi 3 (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2009) hal. 112
[14] Nasrun Haroen,USHUL
FIQH 1,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001),cet.3,hal.155.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar