Rabu, 28 November 2012

MAKALA BIOGRAFI IMAM AL-JUWAINI DAN PEMIKIRANNYA


DAFTAR ISI
BAB I
Pendahuluan…………………………………………..……………………………………………………………………………………………1
BAB II
Pembahasan ………………………………………………………………………………………………………………....2
  1. Biografi Al-Juwaini……………………………………………………………………………………….…………………2
  2. Pendidikan Dan Karya–Karya Al-Juwaini…………………………………………………………..………………….3
a.       Pendidikan Imam Juwaini……………………………………………………………………………………………..3
b.      Karya-karya Imam Juwaini…………………………………………………………………………...……………..4

  1. Suasana Social Politik Yang Mempengaruhi Pemikiran Imam Juwaini………………………………..7
  2. Pemikiran Al- Juwaini Dalam Bidang Politik
a.       Dasar Pembentukan Lembaga Pemerintahan...............................................................9
b.      Kriteri pemimpin Negara islam………………………………………...........................................12
BAB III
Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………………………………………..13
  1. Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN
Imam Al-Haramain Al-Juwaini merupakan salah seorang Guru Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Qusyairi, terutama ketika mereka masih kuliah di Universitas Nizamiyah, Baghdad, perguruan tinggi yang saat itu sangat terkenal karena melahirkan sejumlah Ulama besar. Imam Al-Haramain Al-Juwaini memang tidak terkenal sebagai Sufi, tapi beliau mampu memberikan inspirasi bagi anak didiknya untuk menjadi sufi. Beliau juga dikenal sebagai pengarang yang produktif. Kitab-kitabnya dikaji oleh kaum muslimin di seluruh dunia, menjadi rujukan wajib bagi mereka yang mendalami agama.
Banyak pemikiran pemikiran yang ia lahirkan termasuk dalam bidang politik yang selalu menjadi kajian yang menarik, hal ini karena pemikiran imam juwaini kadang kala bertentangan dengan kebanyakan tokoh seperti Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Mawardi, Al-Haramain (Al-Juwaini), Al-Ghazali,  Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun.
Terhadap kajian dan penulisan teori-teori politik pada khususnya, kelihatannya para pemikir Islam Sunni klasik cenderung menciptakan teori-teori politik sendiri. Teori-teori politik yang mereka hasilkan merupakan bagian dari kajian ilmu fiqh, kalam, tarikh, filsafat, maupun adab (sastra). Bahkan, ada juga yang termaktub dalam kajian tafsir-tafsir al-Qur'an dan syarah (penjelasan) atas hadis-hadis.
Seperti itu juga yang dilakukan oleh imam juwaini dalam pemikirannya. meskipun banyak dipengaruhi oleh suatu sifat tertentu dan tampil dalam wajah tersendiri, serta perkembangannya berhenti pada titik tertentu, namun hasil tersebut merupakan kekayaan ilmiah yang sangat bernilai dan harus diperhatikan serta dikaji lebih lanjut.


BAB II
PEMBAHASAN
BIOGRAFI IMAM AL-JUWAINI DAN PEMIKIRANNYA
1.    Biografi Al-Juwaini
Nama lengkapnya adalah Abd al-Malik ibn Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad ibn Hayyuyah al-Juwaini[1]. Ia lahir di Basitiskan, salah satu wilayah Khurasan, Persia[2] tanggal 18 Muharram 419 H,[3] dan wafat di daerah kelahirannya pada malam Rabu 25 Rabi’ al-Akhir 478 H. Tentang sebutan al-Juwaini diambil dari nama kota Jumain atau Kuwain yang terletak antara Bastam dan Naisabur, dan merupakan kebiasaan para sejarawan nama tokoh-tokoh tertentu dengan tempat kelahirannya, tempat menetap atau tempat wafatnya.
Selain itu, ia juga bergelar al-Ma’ali, karena ilmunya mengenai masalah-masalah ke-Tuhanan (teologi) dipandang cukup mendalam dan kesungguhannya ke arah kejayaan agamanya. Kepandaian berargumentasi dalam mengungguli mitra dialognya dalam usaha menegakkan kebenaran dan membasmi kebatilan.[4]
Al-juwaini meninggalkan negaranya sekitar tahu 443-447 H, pada saat di dalam negaranya berkobar fitnah yang terkenal dengan sebutan fitnah al-khunduri. Ia pergi ke mu’askar, bagdad dan Isfahan. Di bagdad ia belajar pada Abu Bakar Al-Baqillani. Ia pernah mengatakan bahwa ia pernah membaca dan bahkan menghapal 12. 000 lembar buku karangan al-qadi Abu Bakar Al-Baqillani tentang teologi.  di Isfahan ia belajar pada Abu Nu’aim Al-Isfahami pengarang buku al-hilyah. Selain belajar khusus, ia juga banyak mengadakan diskusi ilmiah dengan para tokoh yang ada di Negara Negara yang pernah di kunjunginya. Gelar Imam Haramain Yang Ia Dapatkan itu karena ia pernah menetap dan mengajar di Makkah dan Madinah, mendebat lawan-lawan serta memperkokoh sendi-sendi agama.12 Ia juga disebut Diya’uddin, karena ia mempunyai kelebihan dalam “menerangi” hati dan pikiran para pembela aqidah Islamiyah, dan karena itu tokoh-tokoh Ahl al-Sunnah dapat menangkis serangan dari para pengikut “golongan sesat” yang telah terjerumus dalam kesesatan.
2.    Pendidikan Dan Karya Karya Al-Juwaini
a.      Pendidikan Imam Al-Juwaini
Masa kecil imam Al-Juwaini sangat ketat dalam pendidikan agama dan seperti biasa beliau juga mendapat bimbingan langsung dari ayahandanya. Setelah dewasa beliau berguru kepada beberapa ulama, diantaranya Abu Al-Qasim iskaf Al-Asfarani dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih. Kemudian beliau memperdalam bahasa arab kepada Abu Abdillah Al-Bukhari dan Abu Al-Hasan Ali bin Fadhal bin Ali Al-Majassy'i , beliau juga belajar ilmu hadits kepada sejumlah ulama seperti Abu Sa'ad bin Malik, Abi Hasan Muhammad bin Ahmad Al-Muzakki, Abu Sa'ad bin Nadraw, Manshur bin Ramisyi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Al-Haris Al-Ashabani Al-Tamimi dan Abu Sa'ad bin Hamdan Al-Naishabur.
Seperti lazimnya para santri kala itu, beliau juga menjelajah beberapa kota untuk menuntut ilmu. Berulang kali beliau mengunjungi Baghdad ( Irak ) dan Isfahan (Persia , kemudian ke Hijaz ( Arab Saudi ) dan tinggal di Mekah dan Madinah selama enam tahun sebagai ulama yang bertanggung jawab atas fatwa dan Imam Al-Haramain.
Belakangan beliau pulang kampong ke Naishabur dan mengajar. Tak berapa lama kemudian beliau diminta oleh Perdana menteri Nizam Al-Mulk untuk mengajar di Madrasah Tinggi Nizamiyah di Baghdad. Di madrasah inilah beliau melewatkan hari-harinya untuk mengajar sampai di akhir hayatnya. Selama mengajar, beliau punya murid cukup banyak.
Beberapa di antaranya di belakang hari tampil sebagai ulama besar, seperti Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Abu Muzafar Ahmad bin Muhammad Al-Khawafi, Abu Al-Hasan Syams Al-Islam, Ali bin Muhammad bin Ali Ilkiya Al-Harasyi, Abu Nasr Abdurrahim bin Abdul Karim Al-Qusyairi, Abu Fath Nasr bin Ibrahim Al-Maqdisi dan Abu Sa'ad bin Ismail bin Abi Shalih Al-Kirmani.[5]

b.      Karya-Karya Imam Al-Juwaini
Sebagai Ulama Fuqaha, beliau menulis beberapa kitab yang khusus membahas ilmu fiqih dan ushul fiqih. Dan sebagai pakar ilmu kalam atau teologi, Imam Juwaini dikenal dengan pendapat-pendapatnya yang cukup moderat, meski ada saja pendapatnya yang bertentangan dengan Syekh Abu Hasan Al-Asy'ari, salah seorang ulama suni yang paling kesohor. Sebagai seorang ulama Sunni, Imam al-Haramain mengikuti mazhab Syafi’i dalam bidang fiqh dan ushul fiqh. Sekalipun dalam bidang fiqh dan ushul fiqh beliau menganut mazhab Syafi’i dan dikenal sebagai tokoh utama dalam mazhab Syafi’i, namun tidak sedikit pendapat beliau yang tidak sejalan dan kontroversi dengan fiqh dan ushul fiqh Syafi’i, seperti dapat dilihat di dalam kitabnya Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh yang dipandang sebagai kitab kedua bagi kalangan mazhab Syafi’i setelah kitab Al-Risalah.
Di bidang ilmu kalam, beliau dikenal sebagai seorang penganut aliran Asy’ariyah moderat, banyak pendapatnya yang berseberangan dengan tokoh pendiri aliran tersebut. Sebagai tokoh kalam, ia termasuk generasi ketiga dalam  urutan imam-imam besar aliran Asy’ariyah, yaitu setelah Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Qadi al-Baqillani. Sebagaimana di dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh ia berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i, di dalam ilmu kalam ia juga berbeda pendapat dengan Imam al-Asy’ari, terutama di dalam menentukan posisi akal untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan perbuatan manusia[6].
Imam al-Haramain termasuk salah seorang ulama yang produktif dalam melahirkan karya-karya tulisnya yang monumental. Di antarnya bidang fiqh i, Nihayah al-Matlab fi al-Fiqh, Mugis al-Khulq fi Tarjih Mazhab al-Syafi’i dan kitab fiqh lainnya, bidang ketatanegaraan Giyas al-Umam fi Iltiyas al-Zulam, bidang ushul fiqh beliau menulis kitab seperti, Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, Al-Waraqat, Al-Tuhfah dan kitab ushul fiqh lainnya. Selanjutnya karya beliau dalam bidang teologi di antaranya seperti, Kitab al-Irsyad ila Qawathi’i al-Adillat fi Ushul al-I’tiqad, Lam’u al-Adillat fi Qawaid al-‘Aqaid al-Sunnat wa al-Jama’at (kedua kitab ini beliau sisipkan tentang persoalan Imamah dan siyasah atau politik Islam), dan kitab teologi lainnya. Karya-karya tulis beliau hingga kini menjadi kajian khusus diberbagai perguruan tinggi Islam di Timur Tengah[7].
Kitab-kitab hasil karyanya masih dikaji di pesantren hingga kini yang terkenal di bidang Fiqih adalah :
· Nihayah al-Mathlab fi al-Fiqih
· Mughis al-Khulq fi al-Tajrih al-Madzhab al-Syafi'i.
· Mukhtasar al-Nihayah.
· Ghiyas al-Umam al-Zulam
Al-juwaini juga membahas persoalan ijtihad ( usaha yang dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan hukum islam mengenai kasus penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Qur'an dan Sunah ) dan Taqlid ( keyakinan pada suatu paham ahli hukum yang sudah-sudah tanpa mengetahui dasarnya ) dalam kitab Talkhis al-Taqrib.
Bukan hanya masalah agama, beragam persoalan kemasyarakatan jiga dibahas oleh Imam Al-Juwaini dengan terperinci. Dalam kitab Ghiyas al-Umam fi Iltiyaz al-Zulam, secara khusus ia membahas persoalan politik dan pemerintahan. Tapi, kitab yang terpenting di antara semua karyanya ialah Al-Burhan fi al-Ushul al-Fiqih, sebagai kitab standar dalam studi Madzhab Syafi'i setelah kitab Mustamad fi al-Ushul al-Fiqih karya Abu Husein bin Muhammad bin Ali Al-Basri dan kitab Al-Musttasfa min 'Ilm al-Ushul karya Imam Ghazali.
Kitab Al-Burhan sangat istimewa, karena merupakan salah satu tonggak terpenting dalam sejarah perkembangan ilmu Ushul Fiqih. Kitab ini memuat berbagai pendapat ulama tentang pokok-pokok ilmu fiqih yang hidup sebelum Imam Juwaini. Misalnya, mengenai pokok-pokok pikiran Imam Abu Bakar Muhammad Al-Baqilani, Ulama Madzhab Maliki, dalam kitab Al-Irsyad wa Taqrib, Ushul al-Kabir, Ushul Al-Shagir, Muqni fi al-Ushul al-Fiqh dan Masail al-Usuliyah. Juga pendapat Ibnu Faruq dalam kitab Al-Majmu'ah, pendapat vAbdul Jabar Al-Mutazil dalam kita Al-'Amad dan pendapat Abu Ali Al-Jubai dalam kitab Al-Abwab.[8]
3.    Suasana Sosial Politik Yang Mempengaruhi Pemikiran Imam Juwaini
Situasi pada zaman al-Juwaini hidup mengalami kesenjangan di segala bidang. Keadaan ini bermula dari lemahnya pemerintah pusat di Baghdad. Pada masa desintegrasi ini, khalifah Abbasiyah yang berkuasa tidak lagi mempunyai wibawa dan kekuasaan mutlak. Negara-negara kecil mulai bermunculan dengan cara melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Kekuasaan khalifah di rongrong dari dalam dan luar istana oleh orang keturunan Turki yang merasa tela mendapatkan kedudukan kuat. Khalifah sendiri berusaha mencari dukungan dari luar guna menyelamtkan kekuasaannya. Maka pada tahun 334h khalifah Abbassiyah ke 21 Al- Muttaqi di Baghdad meminta bantuan kepada Ahmad A Buwaihi yang berkedudukan di khurasan untuk melindunginya dari musuh. akibat dari permintaan itu, maka pada tahun ini pula dinasti Buwaihi berhasil memasuki Baghdad dengan mulusnya tanpa hambatan. Setelah bani Buwaihi berhasil mengalahkan musuhnya, kini merekala yang memegang kekuasaan penuh atas permimintaan pemerintahan pusat.merela lebih leuasa dan melakukan penindasan disana sini, khalifah tak ubahnya seperti boneka.
Walaupun diluar bani Buwaihi tampak seperti berada di bawa kekuasaan Abbasiyah namun pada hakikatnya merekala yang memegang penuh tampak pemerintahan pusat. Bahkan lebih jauh bani Buwaihi yang bermazhab syiah menekan khalifah Abbasiyah yang bermazhab sunni. Hal ini wajar terjadi sebab anatara kedua mazhab saling bersaing untuk mencari pengaruh di kalangan masyarakat umum.Kekacaun di bidang politik membawa kepada kekacaun di bidang akidah. Timbul berbagai fitnah di mana-mana tak terkecuali di Nisyapur tanah tumpah imam Juwaini. Keadaan ini seperti terus berlanjut hingga suatu saat bani Saljuk yang bermazhab sunnah tiba di Khurasan pada tahun 426 h. Kedatangan mereka tidak mengubah keadaan masyarakat secara drastis. Fitnah yang timbul akibat fanatik golongan belum bisa di tanggulaninya.
Pada masa pemerintahan bani Saljuk yang dipgang oleh oleh Tughril Bek sekitar tahun 443h. Timbul suatu fitnah yang kemudian di kenal sebagai fitnah Al-Khunduri. Amid al-malik al-Khunduri seorang wazir Thugril bek mengumumkan bahwa pemerintah menentang gerakan ahl-al-bid’ah yang di bawa oleh al- asyari’ah seperti juga pemerintah menentang gerakan rafidah. Pemerinta mencela dan melarang mereka berceramah di asta mimbar. Lebih jauh pemerintah menyeru orang orang agar membenci mereka dan mnganggapnya sebagai orang yang telah keluar dari ajaran islam. Menurut Hodgson, Alkhunduri mnyeru kau mu’tazilah dan semua ajran teologi lainnya unutk menghentikan ajaran-ajarannya.[9]
Banyak para ahli sejarawan yang mengatakan faktor sosial politik inila yang menjadi penyebab imam Juwaini meninggalkan kampung halamannya Nisyapur. Walaupun ada juga yang mengatakan bahwa Juwaini meninggalakan nisyapur karena keinginan sendiri untuk untuk menimpa ilmu pengetahuan, yang memang pada akhirnya imam Juwaini kembali lagi ke nisyapu setelah stuasi kembali kondusip.
Faktor ini juga menurut pemakalah yang menjadi penyebab imam Juwaini sering berbeda pendapat dengan guru ataupun pemikir lainnya. Apalagi pada waktu itu terdapatnya kelompok kelompok yang taqlid kepada mazhab yang tidak disukai oleh imam juwaini.
4.    Pemikiran Al-Juwaini Dalam Bidang Politik
a.        Dasar Pembentukan Lembaga Pemerintahan
Ide dan gagasan Imam al-Haramain dalam bidang politik cukup menarik untuk di kaji. Terutma pemikiran-pemikiran politik beliau yang sering kontradiktif dengan pemikir-pemikir politik Islam Sunni klasik lainnya. Salah satu pemikiran politik beliau yang kontradiktif dengan ulama Sunni klasik lainnya adalah tentang Lembaga pemerintahan atau negara (imamah-khilafah) adalah kepemimpinan umum bagi umat Islam dalam urusan agama dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Nabi SAW. Dalam menetapkan lembaga pemerintahan (imamah-khilafah) ini, Sunni, Syi’ah dan Mu’tazilah mempunyai dasar hukum yang berbeda sesuai dengan doktrin yang dianut oleh setiap aliran tersebut[10]. Imam al-Haramain al-Juwaini berpendapat, bahwa pembentukan lembaga pemerintahan (Imamah-khilafah) hukumnya adalah wajib. Namun demikian, menurut Imam al-Haramain kewajibannya hanya berdasarkan atas ijma’, dan bukan atas dasar nash atau perintah wahyu[11]. Imam al-Haramain dalam menetapkan dasar hukum pembentukan lembaga pemerintahan (Imamah-khilfah) tersebut, berkaitan dengan pandangannya tentang hakikat Imamah itu sendiri. Imam al-Haramain mengatakan bahwa “masalah imamah tidak termasuk dalam prinsip-prinsip al-i’tiqad (keyakinan)[12].” Orang yang tidak mengetahui asal atau sumber munculnya imamah itu menimbulkan dua hal. Pertama, cenderung menjadi ta’asshub (fanatik) dan melanggar kebenaran. Kedua, hal itu menjadi lapangan ijtihad yang serba mungkin dan boleh jadi (al-mujtahadat al-muhtamalat). Di dalamnya tidak terdapat dalil-dalil yang qath’iy (pasti)[13]. Hal ini berkaitan dengan penolakkannya terhadap Syi’ah sekte Imamiyah yang berpendapat bahwa pemangku imamah telah ditetapkan oleh Nabi kepada Ali sebagai penggantinya. Juga untuk menolak bahwa nash penetapan itu dilakukan secara rahasia. Untuk mengetahui kebenaran klaim Syi’ah itu, Imam al-Haramain mengapresiasi tingkat kualitas dan validitas khabar (informasi) atau nash penetapan itu dengan merinci tingkatan-tingkatannya dari berbagai segi. Setiap khabar, kata Imam al-Haramain, mengandung kebenaran atau kebohongan. Ada khabar yang benar dengan argumen atau bukti yang kuat dan pasti. Ada pula khabar dusta dengan dalil atau bukti yang kuat dan pasti. Khabar yang benar ada yang diriwayatkan oleh orang yang punya pengetahuan tentang yang dikhabarkannya itu. Ada pula khabar yang diriwayatkan oleh orang yang tidak punya pengetahuan tentang yang dikhabarkannya itu. Periwayatan khabar oleh orang yang berpengetahuan terhadap yang dikhabarkannya itu, nilainya lebih tinggi. Kemudian masalah ini ia kaitkan dengan tingkatan khabar dalam ilmu hadis, yaitu khabar al-ahad (berita perorangan) yang kebenarannya diragukan, tidak bisa memberikan faedah kebenaran (ilmu). Khabar Mutawatir (berita orang banyak dari orang banyak dan seterusnya) yang dikhabarkan oleh mereka yang punya pengetahuan terhadap apa yang mereka khabarkan. Tingkatan khabar semacam ini mengandung kebenaran atau ketetapan (ilmu). Sedangkan khabar yang ahad tidak bisa diterima kebenarannya kecuali ada sesuatu yang menguatkan kebenarannya, seperti dapat diterima akal, atau dikuatkan oleh mukjizat, dan atau umat sepakat menerimanya sebagai suatu yang benar[14]. Karena itu nash yang dinukil oleh Syi’ah tentang penunjukkan Ali oleh Nabi sebagai penggantinya memangku jabatan imam tidak mencapai tingkat mutawatir, melainkan tingkat ahad[15]. Artinya klaim mereka itu tidak punya otoritas kebenaran, karenanya secara pasti ia batal. Apalagi masalah itu sedemikian penting, maka tidak mungkin Rasul secara sembunyi memberikan ketetapan itu kepada Ali sebagaimana ia tidak menyembunyikan keputusannya mengutus Mu’adz ke Yaman menjadi pemimpin di sana dan sahabat-sahabat lain memimpin peperangan. Demikian juga Abu Bakar tidak secara rahasia menunjuk Umar untuk menjadi penggantinya. Umar pun tidak sembunyi-sembunyi membentuk anggota badan musyawarah yang bertugas memilih seorang dari mereka menjadi khalifah sesudahnya. Seandainya nash itu ada, sebagai yang diberitakan oleh orang-orang Syi’ah, maka tidaklah akan terjadi perbedaan pendapat dipertemuan Tsaqifah itu. Jika mereka mengklaim bahwa nash itu diberikan secara rahasia, maka tidak ada cara kita, kata Imam al-Haramain, untuk mengetahuinya[16]. Barangkali ia ingin mengatakan, bagaimana kita bisa menerima kebenaran sesuatu yang sifatnya rahasia dan itu tidak termasuk bidang i’tiqad. Sedangkan yang nyata saja masih memerlukan dalil untuk membuktikan kebenarannya.
Dengan argumen-argumen itu, Imam al-Haramain berkesimpulan bahwa, tidak ada nash dari Nabi yang menetapkan seseorang untuk menjadi imam atau khalifah sesudahnya[17]. Jadi pembentukan imamah berdasarkan ijma’ bukan karena pertimbangan nash. Ijma’ dalam pemikirannya adalah kesepakatan ulama seluruh umat tentang hukum yang berkesesuaian dengan kebiasaan[18].33 Pendapat ini berbeda dari konsep ijma’ menurut ulama pendahulunya, yaitu kesepakatan seluruh umat. Menurut penulis, Imam al-Haramain tampak berpikir realistis yang memperhitungkan keadaan sosial politik umat Islam saat itu. Sebab, Islam telah dianut oleh berbagai suku bangsa dan mendiami wilayah yang luas, melintasi tiga benua, disintegrasi politik telah melanda daulah Abbasiyah ketika itu, gerakan politik Syi’ah dan aliran-aliran keagamaan telah timbul, sehingga dengan keadaan itu sulit mencari konsensus seluruh masyarakat Islam.

b.        Kriteria  Pemimpin Negara Islam
Imam al-Juwaini mensyaratkan kepala negara dengan menitikberatkan pada sisi kemampuan berfikir. Pola berfikir yang diajukan oleh al-Juwaini hampir sama dengan apa yang digagas oleh Plato dahulu. Imam al-Juwaini mengatakan bahwa pemimpin negara haruslah seorang mujtahid, sehingga dengan begitu, ia tidak butuh meminta fatwa kepada orang lain, mempunyai kemampuan untuk mengurusi kemaslahatan dan dapat memeliharanya, mempunyai kemampuan dalam mengatur militer untuk pertahanan, memiliki wawasan yang luas dalam memikirkan kaum Muslimin, memiliki sifat lemah lembut, tegas dalam menjalankan hukum, seorang laki-laki yang merdeka. Yang menarik dari al-Juwaini adalah ia tidak menetapkan syarat seorang pemimpin negara dari keturunan Quraysh. Hal tersebut menurutnya merupakan suatu masalah yang diperselisihkan yang tidak boleh membuat statemen yang pasti dan mutlak.[19]
Berbeda dengan gurunya di atas, al-Ghazali dalam hal penentuan syarat untuk menjadi seorang pemimpin negara, mengajukan sepuluh syarat yang harus dipenuhi: haruslah seorang laki-laki, sehat pendengaran dan penglihatan, merdeka, sehat, punya kekuasaan nyata, memiliki kemampuan, wara’, berilmu, dan haruslah bersuku Quraysh[20]
Menarik mencermati poin kelima yang disyaratkan oleh Ibn Khaldun di atas, ia menjelaskan sisi rasionalitas mengapa Nabi sampai mengatakan bahwa orang Quraysh-lah yang berhak menjadi pemimpin. Penetapan Nabi tersebut menurut Ibn Khaldun karena pada masa itu, suku Quraysh-lah yang lebih kuat di antara suku-suku lainnya yang ada di Arab pada waktu itu. Di samping itu, suku Quraysh lebih tangguh dan terkemuka dibandingkan suku-suku lainnya. Mereka juga memiliki solidaritas yang tinggi dan memelihara kesatuan umat Islam. Meskipun begitu, menurut Ibn Khaldun apabila dikemudian hari ada suku lain yang ternyata lebih mampu memegang kekuasaan, maka ia pun berhak untuk memimpin[21]. Ibn Khaldun nampaknya sadar bahwa kewibawaan suku Quraysh akan berakhir pada suatu masa. Maka persyaratan itu dicantumkan secara simbolis. Dengan demikian, persyaratan kelima yang dinyatakan oleh Ibn Khaldun tentang keharusan dari suku Quraysh tidaklah mutlak.
Menurut Ibn Taymiyah, bahwa orang yang pantas untuk menjadi pemimpin adalah harus mempunyai kualifikasi kekuatan dan integritas. Hal ini didasarkan atas petunjuk al-Qur’an surat al-Qasas} ayat 26, yang mengatakan bahwa orang yang terbaik untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi dipercaya (amanah)[22]. Dalam hal syarat menjadi seorang pemimpin, Ibn Taymiyah tidak mensyaratkan harus dari suku Quraysh. Hal ini menurutnya bahwa pernyataan itu adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh kalangan ulama, maka syarat itu tidak mungkin ditetapkan. Bahkan menurutnya, pendapat bahwa harus dari suku Quraysh adalah pendapat yang bertentangan dengan konsep persamaan yang digagas oleh al-Qur’an> sendiri dalam surat al-Hujurat ayat 13. Jadi, meskipun pendapat itu berdasarkan hadis akan tetapi bertentangan dengan nash al-Qur’an sendiri[23].
Al-Mawardi dalam kitab Adab al-Dunyamengatakan bahwa seorang pemimpin negara haruslah mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, bersifat adil (al-‘adalah). Masalah adil ini bagi al-Mawardi adalah masalah yang sangat fundamental. Tanpa persyaratan ini, proses yang baik dalam kepemimpinan negara sulit terlaksana. Lebih jauh, ia mensinyalir, sifat adil ini pertama akan tercermin dalam tingkat pribadi pada sikap senang melakukan semua perbuatan yang baik dan segan mengerjakan perbuatan yang keji. Apabila keadilan itu sudah mampu digelar pada level individu, maka sangat mungkin ia mampu menegakkan keadilan di tingkat sosial dan masyarakat. Ia akan mampu menghadapi aneka ragam kelompok masyarakat manusia atas prinsip pemerataan dan persamaan. Dengan kata lain, dalam konteks sosial kemasyarakatan, keadilan seorang kepala negara berarti keserasian sosial kemasyarakatan keadilan kepala negara berarti keserasian dan keseimbangannya dalam mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan warga negara dengan perlakuan yang berdimensikan keadilan. Kedua, berpengetahuan (al-’alim). Kapasitas pengetahuan yang luas ini dibutuhkan untuk menopang kemampuannya dalam berjihad, berfikir secara independent, yang diperlukan setiap saat oleh seorang kepala negara. Dalam proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan, ijtihad seorang kepala negara mutlak diperlukan. Jika seorang kepala negara tidak memiliki wawasan yang cukup, dikhawatirkan ia akan dengan mudah mengabaikan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan pemerintahannya, yang pada gilirannya akan mengarah pada penanganan masalah-masalah kenegaraan secara serampangan. Ketiga, memiliki kemampuan mendengar, melihat dan berbicara secara sempurna. Kemampuan ini sangat berguna untuk dapat mengenali masalah dengan teliti dan dapat mengkomunikasikannya dengan baik dalam proses penentuan hukum. Keempat, mempunyai kondisi fisik yang sehat yang menjamin pergerakan tubuhnya secara bebas. Kelima, memiliki kebijakan dan wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengatur kepentingan umum. Keenam, memiliki keberanian untuk melindungi wilayah kekuasaan Islam dan untuk mempertahankannya dari serangan musuh. Ketujuh, berasal dari keturunan Quraysh. Pernyataan ini menurut al-Mawardi berdasarkan ketentuan yang disepakati umum.[24]
Bab III
KESIMPULAN
Dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.      Pemikiran Imam Juwaini banyak di pengaruhi oleh kondisi social politik yang terjadi pada waktu itu.
2.      Imam juwaini tidak segan segan berseberangan pemikiran dengan tokoh tokoh lain bahkan dengan gurunya sendiri
3.      Menurut imam juwaini pembentukan lembaga pemerintahan (Imamah-khilafah) hukumnya adalah wajib. Namun demikian, menurut Imam al-Haramain kewajibannya hanya berdasarkan atas ijma’, dan bukan atas dasar nash atau perintah wahyu
4.      Imam al-Juwaini mensyaratkan kepala negara dengan menitik beratkan pada sisi kemampuan berfikir. Pola berfikir yang diajukan oleh al-Juwaini hampir sama dengan apa yang digagas oleh Plato dahulu. Adapun persyaratannya menurut imam juwaini adalah:
a.       Mujtahid, sehingga dengan begitu, ia tidak butuh meminta fatwa kepada orang lain, mempunyai kemampuan untuk mengurusi kemaslahatan dan dapat memeliharanya,
b.      Mempunyai kemampuan dalam mengatur militer untuk pertahanan,
c.       Memiliki wawasan yang luas dalam memikirkan kaum Muslimin,
d.      Memiliki sifat lemah lembut,
e.       Tegas dalam menjalankan hukum,
f.       Seorang laki-laki yang merdeka.
Yang menarik dari al-Juwaini adalah ia tidak menetapkan syarat seorang pemimpin negara dari keturunan Quraysh. Hal tersebut menurutnya merupakan suatu masalah yang diperselisihkan yang tidak boleh membuat statemen yang pasti dan mutlak









































DAFTAR PUSTAKA



Abd al-Malik al-Juwaini, Imam al-Haramain, Lam’u al-Adillah fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Ulasan Dr. Fauqiyah Husain Mahmud, t.k.: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif

Abû Hasan al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din,  tahqiq Abd al-Satar Ahmad Faraj (Beirut: Alam Kutub, t.t.)

 Al-Kisah No.22 / Tahun II / 25 Oktober – 7 November 2004 )

Ann K.S. Lambton, State and Government,

Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm. 839.

  Ibn Khaldun,Muqaddimah


   Ibnu taymiyah, al siyasah al shar’iyah fi isla al-ra’yi wa al-ra’iyat (Beirut: dar al kutub al ‘arabiyat, 1966)


Sudirman M. Johan, Politik Keagamaan Dalam Islam (Studi tentang Teori Imamat Mu’tazilat Menurut Konsepsi Abd al-Jabbar serta Perbandingannya dengan Teori Imamat Sunni dan Syi’ah), (Pekanbaru: Susqa Press, 1995)
Taj al-Din Abu Nasr ‘Abd al-Wahab ibn ‘Ali ‘Abd al-Kafi al-Sabaki, Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, III, Tahqiq Muhammad ‘Abd al-Fatah al-Tanahi, Issa al-Bab I

Tsuroyo Kiswati, Al-juwaini peletak dasar rasional dalam islam teologi, Pt Gelora Aksara


Taj al-Din Abu Nasr, ‘Abd al-Wahab ibn Ali ibn ‘Abd al-Kafi al-Sabaki
   Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, penj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1983)


 


[1] Taj al-Din Abu Nasr ‘Abd al-Wahab ibn ‘Ali ‘Abd al-Kafi al-Sabaki, Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, III, Tahqiq Muhammad ‘Abd al-Fatah al-Tanahi, Issa al-Babi, 1965, hlm. 249.
[2] Abd al-Malik al-Juwaini, Imam al-Haramain, Lam’u al-Adillah fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Ulasan Dr. Fauqiyah Husain Mahmud, t.k.: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif, 1960, hlm. 9
[3] Taj al-Din Abu Nasr, ‘Abd al-Wahab ibn Ali ibn ‘Abd al-Kafi al-Sabaki, op.cit., hlm. 251
[4]  Ibid., hlm. 5.
[5] ( Al-Kisah No.22 / Tahun II / 25 Oktober – 7 November 2004 )
[6] Ibid., hlm. 50. Lihat juga pada Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid II, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm. 328
[7] Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm. 839.

[8]  Al-Kisah Lop.Cit
[9] Dr. Tsuroyo Kiswati, Al-juwaini peletak dasar rasional dalam islamteologi, pt gelora aksara, Hal, 29.
[10] Sudirman M. Johan, Politik Keagamaan Dalam Islam (Studi tentang Teori Imamat Mu’tazilat Menurut Konsepsi Abd al-Jabbar serta Perbandingannya dengan Teori Imamat Sunni dan Syi’ah), (Pekanbaru: Susqa Press, 1995), hlm. 106.
[11] Imam al-Haramain, Lam’u al-‘Adillat fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al Jama’ah. Op.Cit, hlm. 71.
[12] Imam al-Haramain, Al-Irsyad ila Qawathi’i al-‘Adillat fi Ushul al-I’tiqad, Tahqiq Muhammad Yusuf Musa dan ‘Ali Abd al-Mun’im Abd al-Hamid, (Mesir : Maktabah al-Khaniji, 1959), hlm. 410.
[13] Ibid.

[14] Ibid., hlm. 411-417.

[15] Ibid., 419.
[16] Ibid., hlm. 420-421.
[17]Imam al-Haramain, Lam’u al-Adillat..Lop. Cit
[18] Imam al-Haramain, Al-Irsyad…Op.Cit, hlm. 418.
[19] Imam al-Haramain, Al-Irsyad…Op.Cit, hlm. 418.
[20] Dikuti dari Ann K.S. Lambton, State and Government, 76-77
[21] Ibn Khaldun,Muqaddimah, 193-194.
[22] Ibnu taymiyah, al siyasah al shar’iyah fi isla al-ra’yi wa al-ra’iyat (Beirut: dar al kutub al ‘arabiyat, 1966),15
[23] Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, penj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1983), 249.
[24] Abû Hasan al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din,  tahqiq Abd al-Satar Ahmad Faraj (Beirut: Alam Kutub, t.t.), 6.