DAFTAR ISI
BAB I
Pendahuluan…………………………………………..……………………………………………………………………………………………1
BAB II
Pembahasan
………………………………………………………………………………………………………………....2
- Biografi Al-Juwaini……………………………………………………………………………………….…………………2
- Pendidikan Dan Karya–Karya Al-Juwaini…………………………………………………………..………………….3
a. Pendidikan
Imam Juwaini……………………………………………………………………………………………..3
b. Karya-karya
Imam Juwaini…………………………………………………………………………...……………..4
- Suasana Social Politik Yang Mempengaruhi Pemikiran Imam Juwaini………………………………..7
- Pemikiran Al- Juwaini Dalam Bidang Politik
a.
Dasar Pembentukan Lembaga
Pemerintahan...............................................................9
b.
Kriteri pemimpin Negara
islam………………………………………...........................................12
BAB III
Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………………………………………..13
- Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
Imam Al-Haramain Al-Juwaini merupakan salah seorang Guru
Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Qusyairi, terutama ketika mereka masih kuliah di
Universitas Nizamiyah, Baghdad, perguruan tinggi yang saat itu sangat terkenal
karena melahirkan sejumlah Ulama besar. Imam Al-Haramain Al-Juwaini memang
tidak terkenal sebagai Sufi, tapi beliau mampu memberikan inspirasi bagi anak
didiknya untuk menjadi sufi. Beliau juga dikenal sebagai pengarang yang produktif.
Kitab-kitabnya dikaji oleh kaum muslimin di seluruh dunia, menjadi rujukan
wajib bagi mereka yang mendalami agama.
Banyak pemikiran pemikiran yang ia lahirkan termasuk
dalam bidang politik yang selalu menjadi kajian yang menarik, hal ini karena
pemikiran imam juwaini kadang kala bertentangan dengan kebanyakan tokoh seperti
Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Mawardi, Al-Haramain
(Al-Juwaini), Al-Ghazali, Ibn Taimiyah
dan Ibn Khaldun.
Terhadap kajian dan penulisan teori-teori politik pada khususnya, kelihatannya
para pemikir Islam Sunni klasik cenderung menciptakan teori-teori politik
sendiri. Teori-teori politik yang mereka hasilkan merupakan bagian dari kajian
ilmu fiqh, kalam, tarikh, filsafat, maupun adab (sastra). Bahkan, ada juga yang
termaktub dalam kajian tafsir-tafsir al-Qur'an dan syarah (penjelasan) atas
hadis-hadis.
Seperti itu juga yang dilakukan oleh imam juwaini dalam pemikirannya.
meskipun banyak dipengaruhi oleh suatu sifat tertentu dan tampil dalam wajah
tersendiri, serta perkembangannya berhenti pada titik tertentu, namun hasil
tersebut merupakan kekayaan ilmiah yang sangat bernilai dan harus diperhatikan
serta dikaji lebih lanjut.
BAB
II
PEMBAHASAN
BIOGRAFI
IMAM AL-JUWAINI DAN PEMIKIRANNYA
1. Biografi Al-Juwaini
Nama
lengkapnya adalah Abd al-Malik ibn Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad ibn Hayyuyah
al-Juwaini[1]. Ia
lahir di Basitiskan, salah satu wilayah Khurasan, Persia[2] tanggal
18 Muharram 419 H,[3] dan
wafat di daerah kelahirannya pada malam Rabu 25 Rabi’ al-Akhir 478 H. Tentang
sebutan al-Juwaini diambil dari nama kota Jumain atau Kuwain yang terletak
antara Bastam dan Naisabur, dan merupakan kebiasaan para sejarawan nama
tokoh-tokoh tertentu dengan tempat kelahirannya, tempat menetap atau tempat
wafatnya.
Selain
itu, ia juga bergelar al-Ma’ali, karena ilmunya mengenai
masalah-masalah ke-Tuhanan (teologi) dipandang cukup mendalam dan
kesungguhannya ke arah kejayaan agamanya. Kepandaian berargumentasi dalam
mengungguli mitra dialognya dalam usaha menegakkan kebenaran dan membasmi
kebatilan.[4]
Al-juwaini
meninggalkan negaranya sekitar tahu 443-447 H, pada saat di dalam negaranya
berkobar fitnah yang terkenal dengan sebutan fitnah al-khunduri. Ia pergi ke
mu’askar, bagdad dan Isfahan.
Di bagdad ia belajar pada Abu Bakar Al-Baqillani. Ia pernah mengatakan bahwa ia
pernah membaca dan bahkan menghapal 12. 000 lembar buku karangan al-qadi Abu
Bakar Al-Baqillani tentang teologi. di Isfahan ia belajar pada
Abu Nu’aim Al-Isfahami pengarang buku al-hilyah. Selain belajar khusus, ia juga
banyak mengadakan diskusi ilmiah dengan para tokoh yang ada di Negara Negara
yang pernah di kunjunginya. Gelar Imam Haramain Yang Ia Dapatkan itu karena ia pernah menetap dan mengajar
di Makkah dan Madinah, mendebat lawan-lawan serta memperkokoh sendi-sendi
agama.12 Ia juga disebut Diya’uddin,
karena ia mempunyai kelebihan dalam “menerangi” hati dan pikiran para pembela
aqidah Islamiyah, dan karena itu tokoh-tokoh Ahl al-Sunnah dapat menangkis
serangan dari para pengikut “golongan sesat” yang telah terjerumus dalam
kesesatan.
2. Pendidikan Dan Karya Karya
Al-Juwaini
a. Pendidikan Imam Al-Juwaini
Masa kecil imam Al-Juwaini sangat ketat
dalam pendidikan agama dan seperti biasa beliau juga mendapat bimbingan
langsung dari ayahandanya. Setelah dewasa beliau berguru kepada beberapa ulama,
diantaranya Abu Al-Qasim iskaf Al-Asfarani dalam ilmu fiqih dan
ushul fiqih. Kemudian beliau memperdalam bahasa arab kepada Abu
Abdillah Al-Bukhari dan Abu Al-Hasan Ali bin Fadhal bin Ali
Al-Majassy'i , beliau juga belajar ilmu hadits kepada sejumlah ulama
seperti Abu Sa'ad bin Malik, Abi Hasan Muhammad bin Ahmad Al-Muzakki,
Abu Sa'ad bin Nadraw, Manshur bin Ramisyi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin
Al-Haris Al-Ashabani Al-Tamimi dan Abu Sa'ad bin Hamdan
Al-Naishabur.
Seperti lazimnya para santri kala itu,
beliau juga menjelajah beberapa kota untuk menuntut ilmu. Berulang kali beliau
mengunjungi Baghdad ( Irak ) dan Isfahan (Persia , kemudian ke Hijaz ( Arab
Saudi ) dan tinggal di Mekah dan Madinah selama enam tahun sebagai ulama yang
bertanggung jawab atas fatwa dan Imam Al-Haramain.
Belakangan beliau pulang kampong ke
Naishabur dan mengajar. Tak berapa lama kemudian beliau diminta oleh Perdana
menteri Nizam Al-Mulk untuk mengajar di Madrasah Tinggi Nizamiyah di Baghdad.
Di madrasah inilah beliau melewatkan hari-harinya untuk mengajar sampai di
akhir hayatnya. Selama mengajar, beliau punya murid cukup banyak.
Beberapa di antaranya di belakang hari
tampil sebagai ulama besar, seperti Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Abu Muzafar
Ahmad bin Muhammad Al-Khawafi, Abu Al-Hasan Syams Al-Islam, Ali bin Muhammad
bin Ali Ilkiya Al-Harasyi, Abu Nasr Abdurrahim bin Abdul Karim Al-Qusyairi, Abu
Fath Nasr bin Ibrahim Al-Maqdisi dan Abu Sa'ad bin Ismail bin Abi Shalih
Al-Kirmani.[5]
b. Karya-Karya Imam Al-Juwaini
Sebagai
Ulama Fuqaha, beliau menulis beberapa kitab yang khusus membahas ilmu fiqih dan
ushul fiqih. Dan sebagai pakar ilmu kalam atau teologi, Imam Juwaini dikenal
dengan pendapat-pendapatnya yang cukup moderat, meski ada saja pendapatnya yang
bertentangan dengan Syekh Abu Hasan Al-Asy'ari, salah seorang ulama suni yang
paling kesohor. Sebagai
seorang ulama Sunni, Imam al-Haramain mengikuti mazhab Syafi’i dalam bidang
fiqh dan ushul fiqh. Sekalipun dalam bidang fiqh dan ushul fiqh beliau menganut
mazhab Syafi’i dan dikenal sebagai tokoh utama dalam mazhab Syafi’i, namun
tidak sedikit pendapat beliau yang tidak sejalan dan kontroversi dengan fiqh
dan ushul fiqh Syafi’i, seperti dapat dilihat di dalam kitabnya Al-Burhan fi
Ushul al-Fiqh yang dipandang sebagai kitab kedua bagi kalangan mazhab
Syafi’i setelah kitab Al-Risalah.
Di bidang ilmu kalam, beliau dikenal sebagai seorang penganut aliran
Asy’ariyah moderat, banyak pendapatnya yang berseberangan dengan tokoh pendiri
aliran tersebut. Sebagai tokoh kalam, ia termasuk generasi ketiga dalam urutan
imam-imam besar aliran Asy’ariyah, yaitu setelah Abu Hasan al-Asy’ari dan
al-Qadi al-Baqillani. Sebagaimana di dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh ia berbeda
pendapat dengan Imam Syafi’i, di dalam ilmu kalam ia juga berbeda pendapat
dengan Imam al-Asy’ari, terutama di dalam menentukan posisi akal untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan perbuatan manusia[6].
Imam al-Haramain
termasuk salah seorang ulama yang produktif dalam melahirkan karya-karya
tulisnya yang monumental. Di antarnya bidang fiqh i, Nihayah al-Matlab fi
al-Fiqh, Mugis al-Khulq fi Tarjih Mazhab al-Syafi’i dan kitab fiqh
lainnya, bidang ketatanegaraan Giyas al-Umam fi Iltiyas al-Zulam,
bidang ushul fiqh beliau menulis kitab seperti, Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh,
Al-Waraqat, Al-Tuhfah dan kitab ushul fiqh lainnya. Selanjutnya
karya beliau dalam bidang teologi di antaranya seperti, Kitab al-Irsyad
ila Qawathi’i al-Adillat fi Ushul al-I’tiqad, Lam’u al-Adillat fi Qawaid
al-‘Aqaid al-Sunnat wa al-Jama’at (kedua kitab ini beliau sisipkan
tentang persoalan Imamah dan siyasah atau politik Islam), dan kitab teologi
lainnya. Karya-karya tulis beliau hingga kini menjadi kajian khusus diberbagai
perguruan tinggi Islam di Timur Tengah[7].
Kitab-kitab
hasil karyanya masih dikaji di pesantren hingga kini yang terkenal di bidang
Fiqih adalah :
· Nihayah al-Mathlab fi
al-Fiqih
· Mughis al-Khulq fi
al-Tajrih al-Madzhab al-Syafi'i.
· Mukhtasar
al-Nihayah.
· Ghiyas
al-Umam al-Zulam
Al-juwaini
juga membahas persoalan ijtihad ( usaha yang dilakukan para ahli agama untuk
mencapai suatu putusan hukum islam mengenai kasus penyelesaiannya belum tertera
dalam Al-Qur'an dan Sunah ) dan Taqlid ( keyakinan pada suatu paham ahli hukum
yang sudah-sudah tanpa mengetahui dasarnya ) dalam kitab Talkhis
al-Taqrib.
Bukan
hanya masalah agama, beragam persoalan kemasyarakatan jiga dibahas oleh Imam
Al-Juwaini dengan terperinci. Dalam kitab Ghiyas al-Umam fi Iltiyaz
al-Zulam, secara khusus ia membahas persoalan politik dan pemerintahan.
Tapi, kitab yang terpenting di antara semua karyanya ialah Al-Burhan fi
al-Ushul al-Fiqih, sebagai kitab standar dalam studi Madzhab Syafi'i
setelah kitab Mustamad fi al-Ushul al-Fiqih karya Abu Husein
bin Muhammad bin Ali Al-Basri dan kitab Al-Musttasfa min 'Ilm
al-Ushul karya Imam Ghazali.
Kitab Al-Burhan sangat
istimewa, karena merupakan salah satu tonggak terpenting dalam sejarah
perkembangan ilmu Ushul Fiqih. Kitab ini memuat berbagai
pendapat ulama tentang pokok-pokok ilmu fiqih yang hidup sebelum Imam Juwaini.
Misalnya, mengenai pokok-pokok pikiran Imam Abu Bakar Muhammad Al-Baqilani,
Ulama Madzhab Maliki, dalam kitab Al-Irsyad wa Taqrib, Ushul al-Kabir,
Ushul Al-Shagir, Muqni fi al-Ushul al-Fiqh dan Masail al-Usuliyah. Juga
pendapat Ibnu Faruq dalam kitab Al-Majmu'ah, pendapat vAbdul
Jabar Al-Mutazil dalam kita Al-'Amad dan pendapat Abu Ali
Al-Jubai dalam kitab Al-Abwab.[8]
3. Suasana Sosial Politik Yang
Mempengaruhi Pemikiran Imam Juwaini
Situasi pada zaman al-Juwaini hidup mengalami kesenjangan
di segala bidang. Keadaan ini bermula dari lemahnya pemerintah pusat di
Baghdad. Pada masa desintegrasi ini, khalifah Abbasiyah yang berkuasa tidak
lagi mempunyai wibawa dan kekuasaan mutlak. Negara-negara kecil mulai
bermunculan dengan cara melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Kekuasaan
khalifah di rongrong dari dalam dan luar istana oleh orang keturunan Turki yang
merasa tela mendapatkan kedudukan kuat. Khalifah sendiri berusaha mencari
dukungan dari luar guna menyelamtkan kekuasaannya. Maka pada tahun 334h
khalifah Abbassiyah ke 21 Al- Muttaqi di Baghdad meminta bantuan kepada Ahmad A
Buwaihi yang berkedudukan di khurasan untuk melindunginya dari musuh. akibat dari
permintaan itu, maka pada tahun ini pula dinasti Buwaihi berhasil memasuki
Baghdad dengan mulusnya tanpa hambatan. Setelah bani Buwaihi berhasil
mengalahkan musuhnya, kini merekala yang memegang kekuasaan penuh atas
permimintaan pemerintahan pusat.merela lebih leuasa dan melakukan penindasan
disana sini, khalifah tak ubahnya seperti boneka.
Walaupun diluar bani Buwaihi tampak seperti berada di
bawa kekuasaan Abbasiyah namun pada hakikatnya merekala yang memegang penuh
tampak pemerintahan pusat. Bahkan lebih jauh bani Buwaihi yang bermazhab syiah
menekan khalifah Abbasiyah yang bermazhab sunni. Hal ini wajar terjadi sebab
anatara kedua mazhab saling bersaing untuk mencari pengaruh di kalangan
masyarakat umum.Kekacaun di bidang politik membawa kepada kekacaun di bidang
akidah. Timbul berbagai fitnah di mana-mana tak terkecuali di Nisyapur tanah
tumpah imam Juwaini. Keadaan ini seperti terus berlanjut hingga suatu saat bani
Saljuk yang bermazhab sunnah tiba di Khurasan pada tahun 426 h. Kedatangan
mereka tidak mengubah keadaan masyarakat secara drastis. Fitnah yang timbul
akibat fanatik golongan belum bisa di tanggulaninya.
Pada masa pemerintahan bani Saljuk yang
dipgang oleh oleh Tughril Bek sekitar tahun 443h. Timbul suatu fitnah yang
kemudian di kenal sebagai fitnah Al-Khunduri. Amid al-malik al-Khunduri seorang
wazir Thugril bek mengumumkan bahwa pemerintah menentang gerakan ahl-al-bid’ah
yang di bawa oleh al- asyari’ah seperti juga pemerintah menentang gerakan
rafidah. Pemerinta mencela dan melarang mereka berceramah di asta mimbar. Lebih
jauh pemerintah menyeru orang orang agar membenci mereka dan mnganggapnya
sebagai orang yang telah keluar dari ajaran islam. Menurut Hodgson, Alkhunduri
mnyeru kau mu’tazilah dan semua ajran teologi lainnya unutk menghentikan
ajaran-ajarannya.[9]
Banyak para ahli sejarawan yang
mengatakan faktor sosial politik inila yang menjadi penyebab imam Juwaini
meninggalkan kampung halamannya Nisyapur. Walaupun ada juga yang mengatakan
bahwa Juwaini meninggalakan nisyapur karena keinginan sendiri untuk untuk
menimpa ilmu pengetahuan, yang memang pada akhirnya imam Juwaini kembali lagi
ke nisyapu setelah stuasi kembali kondusip.
Faktor ini juga menurut pemakalah yang
menjadi penyebab imam Juwaini sering berbeda pendapat dengan guru ataupun
pemikir lainnya. Apalagi pada waktu itu terdapatnya kelompok kelompok yang
taqlid kepada mazhab yang tidak disukai oleh imam juwaini.
4. Pemikiran Al-Juwaini Dalam Bidang
Politik
a.
Dasar
Pembentukan Lembaga Pemerintahan
Ide dan gagasan Imam al-Haramain
dalam bidang politik cukup menarik untuk di kaji. Terutma pemikiran-pemikiran
politik beliau yang sering kontradiktif dengan pemikir-pemikir politik Islam
Sunni klasik lainnya. Salah satu pemikiran politik beliau yang kontradiktif
dengan ulama Sunni klasik lainnya adalah tentang Lembaga pemerintahan atau negara (imamah-khilafah) adalah kepemimpinan
umum bagi umat Islam dalam urusan agama dan urusan dunia sebagai pengganti
fungsi Nabi SAW. Dalam menetapkan lembaga pemerintahan (imamah-khilafah) ini,
Sunni, Syi’ah dan Mu’tazilah mempunyai dasar hukum yang berbeda sesuai dengan
doktrin yang dianut oleh setiap aliran tersebut[10].
Imam al-Haramain al-Juwaini berpendapat, bahwa pembentukan lembaga
pemerintahan (Imamah-khilafah) hukumnya adalah wajib. Namun demikian, menurut
Imam al-Haramain kewajibannya hanya berdasarkan atas ijma’, dan bukan atas
dasar nash atau perintah wahyu[11].
Imam al-Haramain dalam menetapkan dasar hukum pembentukan lembaga
pemerintahan (Imamah-khilfah) tersebut, berkaitan dengan pandangannya tentang
hakikat Imamah itu sendiri. Imam al-Haramain mengatakan bahwa “masalah imamah
tidak termasuk dalam prinsip-prinsip al-i’tiqad (keyakinan)[12].” Orang
yang tidak mengetahui asal atau sumber munculnya imamah itu menimbulkan
dua hal. Pertama, cenderung menjadi ta’asshub (fanatik) dan
melanggar kebenaran. Kedua, hal itu menjadi lapangan ijtihad yang
serba mungkin dan boleh jadi (al-mujtahadat al-muhtamalat). Di dalamnya
tidak terdapat dalil-dalil yang qath’iy (pasti)[13]. Hal
ini berkaitan dengan penolakkannya terhadap Syi’ah sekte Imamiyah yang
berpendapat bahwa pemangku imamah telah ditetapkan oleh Nabi kepada Ali sebagai
penggantinya. Juga untuk menolak bahwa nash penetapan itu dilakukan secara
rahasia. Untuk mengetahui kebenaran klaim Syi’ah itu, Imam al-Haramain
mengapresiasi tingkat kualitas dan validitas khabar (informasi) atau
nash penetapan itu dengan merinci tingkatan-tingkatannya dari berbagai segi.
Setiap khabar, kata Imam al-Haramain, mengandung kebenaran atau kebohongan. Ada khabar yang benar
dengan argumen atau bukti yang kuat dan pasti. Ada pula khabar dusta dengan dalil atau bukti
yang kuat dan pasti. Khabar yang benar ada yang diriwayatkan oleh orang yang
punya pengetahuan tentang yang dikhabarkannya itu. Ada pula khabar yang diriwayatkan oleh orang
yang tidak punya pengetahuan tentang yang dikhabarkannya itu. Periwayatan
khabar oleh orang yang berpengetahuan terhadap yang dikhabarkannya itu,
nilainya lebih tinggi. Kemudian masalah ini ia kaitkan dengan tingkatan khabar
dalam ilmu hadis, yaitu khabar al-ahad (berita perorangan) yang
kebenarannya diragukan, tidak bisa memberikan faedah kebenaran (ilmu). Khabar
Mutawatir (berita orang banyak dari orang banyak dan seterusnya) yang
dikhabarkan oleh mereka yang punya pengetahuan terhadap apa yang mereka khabarkan.
Tingkatan khabar semacam ini mengandung kebenaran atau ketetapan (ilmu).
Sedangkan khabar yang ahad tidak bisa diterima kebenarannya kecuali ada
sesuatu yang menguatkan kebenarannya, seperti dapat diterima akal, atau
dikuatkan oleh mukjizat, dan atau umat sepakat menerimanya sebagai suatu yang
benar[14].
Karena itu nash yang dinukil oleh Syi’ah tentang penunjukkan Ali oleh
Nabi sebagai penggantinya memangku jabatan imam tidak mencapai tingkat mutawatir,
melainkan tingkat ahad[15].
Artinya klaim mereka itu tidak punya otoritas kebenaran, karenanya
secara pasti ia batal. Apalagi masalah itu sedemikian penting, maka tidak
mungkin Rasul secara sembunyi memberikan ketetapan itu kepada Ali sebagaimana
ia tidak menyembunyikan keputusannya mengutus Mu’adz ke Yaman menjadi pemimpin
di sana dan
sahabat-sahabat lain memimpin peperangan. Demikian juga Abu Bakar tidak secara
rahasia menunjuk Umar untuk menjadi penggantinya. Umar pun tidak
sembunyi-sembunyi membentuk anggota badan musyawarah yang bertugas memilih
seorang dari mereka menjadi khalifah sesudahnya. Seandainya nash itu ada,
sebagai yang diberitakan oleh orang-orang Syi’ah, maka tidaklah akan terjadi
perbedaan pendapat dipertemuan Tsaqifah itu. Jika mereka mengklaim bahwa nash
itu diberikan secara rahasia, maka tidak ada cara kita, kata Imam al-Haramain,
untuk mengetahuinya[16].
Barangkali ia ingin mengatakan, bagaimana kita bisa menerima kebenaran sesuatu
yang sifatnya rahasia dan itu tidak termasuk bidang i’tiqad. Sedangkan
yang nyata saja masih memerlukan dalil untuk membuktikan kebenarannya.
Dengan
argumen-argumen itu, Imam al-Haramain berkesimpulan bahwa, tidak ada nash dari
Nabi yang menetapkan seseorang untuk menjadi imam atau khalifah sesudahnya[17]. Jadi
pembentukan imamah berdasarkan ijma’ bukan karena pertimbangan nash. Ijma’
dalam pemikirannya adalah kesepakatan ulama seluruh umat tentang hukum yang
berkesesuaian dengan kebiasaan[18].33
Pendapat ini berbeda dari konsep ijma’ menurut ulama pendahulunya, yaitu
kesepakatan seluruh umat. Menurut penulis, Imam al-Haramain tampak berpikir
realistis yang memperhitungkan keadaan sosial politik umat Islam saat itu.
Sebab, Islam telah dianut oleh berbagai suku bangsa dan mendiami wilayah yang
luas, melintasi tiga benua, disintegrasi politik telah melanda daulah Abbasiyah
ketika itu, gerakan politik Syi’ah dan aliran-aliran keagamaan telah timbul,
sehingga dengan keadaan itu sulit mencari konsensus seluruh masyarakat Islam.
b.
Kriteria Pemimpin Negara Islam
Imam al-Juwaini
mensyaratkan kepala negara dengan menitikberatkan pada sisi kemampuan berfikir.
Pola berfikir yang diajukan oleh al-Juwaini hampir sama dengan apa yang digagas
oleh Plato dahulu. Imam al-Juwaini mengatakan bahwa pemimpin negara haruslah
seorang mujtahid, sehingga dengan begitu, ia tidak butuh meminta fatwa kepada
orang lain, mempunyai kemampuan untuk mengurusi kemaslahatan dan dapat
memeliharanya, mempunyai kemampuan dalam mengatur militer untuk pertahanan,
memiliki wawasan yang luas dalam memikirkan kaum Muslimin, memiliki sifat lemah
lembut, tegas dalam menjalankan hukum, seorang laki-laki yang merdeka. Yang
menarik dari al-Juwaini adalah ia tidak menetapkan syarat seorang pemimpin
negara dari keturunan Quraysh. Hal tersebut menurutnya merupakan suatu masalah
yang diperselisihkan yang tidak boleh membuat statemen yang pasti dan mutlak.[19]
Berbeda dengan gurunya
di atas, al-Ghazali dalam hal penentuan syarat untuk menjadi seorang pemimpin
negara, mengajukan sepuluh syarat yang harus dipenuhi: haruslah seorang
laki-laki, sehat pendengaran dan penglihatan, merdeka, sehat, punya kekuasaan
nyata, memiliki kemampuan, wara’, berilmu, dan haruslah bersuku Quraysh[20]
Menarik mencermati poin
kelima yang disyaratkan oleh Ibn Khaldun di atas, ia menjelaskan sisi
rasionalitas mengapa Nabi sampai mengatakan bahwa orang Quraysh-lah yang berhak
menjadi pemimpin. Penetapan Nabi tersebut menurut Ibn Khaldun karena pada masa
itu, suku Quraysh-lah yang lebih kuat di antara suku-suku lainnya yang ada di
Arab pada waktu itu. Di samping itu, suku Quraysh lebih tangguh dan terkemuka
dibandingkan suku-suku lainnya. Mereka juga memiliki solidaritas yang tinggi
dan memelihara kesatuan umat Islam. Meskipun begitu, menurut Ibn Khaldun
apabila dikemudian hari ada suku lain yang ternyata lebih mampu memegang
kekuasaan, maka ia pun berhak untuk memimpin[21].
Ibn Khaldun nampaknya sadar bahwa kewibawaan suku Quraysh akan berakhir pada
suatu masa. Maka persyaratan itu dicantumkan secara simbolis. Dengan demikian,
persyaratan kelima yang dinyatakan oleh Ibn Khaldun tentang keharusan dari suku
Quraysh tidaklah mutlak.
Menurut Ibn Taymiyah,
bahwa orang yang pantas untuk menjadi pemimpin adalah harus mempunyai
kualifikasi kekuatan dan integritas. Hal ini didasarkan atas petunjuk al-Qur’an
surat al-Qasas} ayat 26, yang mengatakan bahwa orang yang terbaik untuk bekerja
adalah orang yang kuat lagi dipercaya (amanah)[22].
Dalam hal syarat menjadi seorang pemimpin, Ibn Taymiyah tidak mensyaratkan
harus dari suku Quraysh. Hal ini menurutnya bahwa pernyataan itu adalah
permasalahan yang diperselisihkan oleh kalangan ulama, maka syarat itu tidak
mungkin ditetapkan. Bahkan menurutnya, pendapat bahwa harus dari suku Quraysh
adalah pendapat yang bertentangan dengan konsep persamaan yang digagas oleh
al-Qur’an> sendiri dalam surat
al-Hujurat ayat 13. Jadi, meskipun pendapat itu berdasarkan hadis akan tetapi
bertentangan dengan nash al-Qur’an sendiri[23].
Al-Mawardi dalam kitab Adab
al-Dunyamengatakan bahwa seorang pemimpin negara haruslah mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, bersifat adil (al-‘adalah).
Masalah adil ini bagi al-Mawardi adalah masalah yang sangat fundamental. Tanpa
persyaratan ini, proses yang baik dalam kepemimpinan negara sulit terlaksana.
Lebih jauh, ia mensinyalir, sifat adil ini pertama akan tercermin dalam tingkat
pribadi pada sikap senang melakukan semua perbuatan yang baik dan segan
mengerjakan perbuatan yang keji. Apabila keadilan itu sudah mampu digelar pada
level individu, maka sangat mungkin ia mampu menegakkan keadilan di tingkat
sosial dan masyarakat. Ia akan mampu menghadapi aneka ragam kelompok masyarakat
manusia atas prinsip pemerataan dan persamaan. Dengan kata lain, dalam konteks
sosial kemasyarakatan, keadilan seorang kepala negara berarti keserasian sosial
kemasyarakatan keadilan kepala negara berarti keserasian dan keseimbangannya dalam
mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan warga negara dengan perlakuan yang
berdimensikan keadilan. Kedua, berpengetahuan (al-’alim).
Kapasitas pengetahuan yang luas ini dibutuhkan untuk menopang kemampuannya
dalam berjihad, berfikir secara independent, yang diperlukan setiap saat oleh
seorang kepala negara. Dalam proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan,
ijtihad seorang kepala negara mutlak diperlukan. Jika seorang kepala negara
tidak memiliki wawasan yang cukup, dikhawatirkan ia akan dengan mudah
mengabaikan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan pemerintahannya, yang pada
gilirannya akan mengarah pada penanganan masalah-masalah kenegaraan secara
serampangan. Ketiga, memiliki kemampuan mendengar, melihat dan berbicara
secara sempurna. Kemampuan ini sangat berguna untuk dapat mengenali masalah
dengan teliti dan dapat mengkomunikasikannya dengan baik dalam proses penentuan
hukum. Keempat, mempunyai kondisi fisik yang sehat yang menjamin
pergerakan tubuhnya secara bebas. Kelima, memiliki kebijakan dan wawasan
yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengatur kepentingan
umum. Keenam, memiliki keberanian untuk melindungi wilayah kekuasaan
Islam dan untuk mempertahankannya dari serangan musuh. Ketujuh, berasal
dari keturunan Quraysh. Pernyataan ini menurut al-Mawardi berdasarkan ketentuan
yang disepakati umum.[24]
Bab III
KESIMPULAN
Dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Pemikiran Imam Juwaini banyak di pengaruhi oleh kondisi
social politik yang terjadi pada waktu itu.
2. Imam juwaini tidak segan segan berseberangan pemikiran dengan
tokoh tokoh lain bahkan dengan gurunya sendiri
3. Menurut
imam juwaini pembentukan lembaga
pemerintahan (Imamah-khilafah) hukumnya adalah wajib. Namun demikian, menurut
Imam al-Haramain kewajibannya hanya berdasarkan atas ijma’, dan bukan atas
dasar nash atau perintah wahyu
4. Imam
al-Juwaini mensyaratkan kepala negara dengan menitik beratkan pada sisi
kemampuan berfikir. Pola berfikir yang diajukan oleh al-Juwaini hampir sama
dengan apa yang digagas oleh Plato dahulu. Adapun persyaratannya menurut imam
juwaini adalah:
a.
Mujtahid, sehingga dengan begitu, ia
tidak butuh meminta fatwa kepada orang lain, mempunyai kemampuan untuk
mengurusi kemaslahatan dan dapat memeliharanya,
b.
Mempunyai kemampuan dalam mengatur
militer untuk pertahanan,
c.
Memiliki wawasan yang luas dalam
memikirkan kaum Muslimin,
d.
Memiliki sifat lemah lembut,
e.
Tegas dalam menjalankan hukum,
f.
Seorang laki-laki yang merdeka.
Yang menarik
dari al-Juwaini adalah ia tidak menetapkan syarat seorang pemimpin negara dari
keturunan Quraysh. Hal tersebut menurutnya merupakan suatu masalah yang
diperselisihkan yang tidak boleh membuat statemen yang pasti dan mutlak
DAFTAR
PUSTAKA
Abd al-Malik al-Juwaini, Imam al-Haramain, Lam’u al-Adillah fi Qawa’id
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Ulasan
Dr. Fauqiyah Husain Mahmud, t.k.: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif
Abû Hasan al-Mawardi, Adab al-Dunya wa
al-Din, tahqiq Abd al-Satar Ahmad
Faraj (Beirut: Alam Kutub, t.t.)
Al-Kisah No.22 / Tahun II / 25 Oktober – 7
November 2004 )
Ann
K.S. Lambton, State and Government,
Abdul Aziz
Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III, (Jakarta : Ichtiar
Baru van Hoeve, 1996), hlm. 839.
Ibn Khaldun,Muqaddimah
Ibnu
taymiyah, al siyasah al shar’iyah fi isla al-ra’yi wa al-ra’iyat (Beirut: dar
al kutub al ‘arabiyat, 1966)
Sudirman M. Johan, Politik Keagamaan Dalam Islam (Studi tentang Teori
Imamat Mu’tazilat Menurut Konsepsi Abd al-Jabbar serta Perbandingannya
dengan Teori Imamat Sunni dan Syi’ah), (Pekanbaru: Susqa Press, 1995)
Taj al-Din Abu Nasr ‘Abd al-Wahab
ibn ‘Ali ‘Abd al-Kafi al-Sabaki, Tabaqat
al-Syafi’iyyah al-Kubra, III,
Tahqiq Muhammad ‘Abd al-Fatah al-Tanahi, Issa al-Bab I
Tsuroyo Kiswati, Al-juwaini peletak dasar rasional
dalam islam teologi, Pt Gelora Aksara
Taj al-Din Abu Nasr, ‘Abd al-Wahab ibn Ali ibn ‘Abd al-Kafi
al-Sabaki
Qamaruddin
Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, penj. Anas Mahyuddin (Bandung:
Pustaka, 1983)
[1] Taj al-Din Abu
Nasr ‘Abd al-Wahab ibn ‘Ali ‘Abd al-Kafi al-Sabaki, Tabaqat al-Syafi’iyyah
al-Kubra, III, Tahqiq
Muhammad ‘Abd al-Fatah al-Tanahi, Issa al-Babi, 1965, hlm. 249.
[2] Abd al-Malik al-Juwaini, Imam
al-Haramain, Lam’u
al-Adillah fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Ulasan Dr. Fauqiyah Husain Mahmud,
t.k.: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif, 1960, hlm. 9
[3] Taj al-Din Abu
Nasr, ‘Abd al-Wahab ibn Ali ibn ‘Abd al-Kafi al-Sabaki, op.cit., hlm. 251
[4] Ibid., hlm. 5.
[5] (
Al-Kisah No.22 / Tahun II / 25 Oktober – 7 November 2004 )
[6] Ibid., hlm. 50. Lihat
juga pada Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid II, (Jakarta : Ichtiar
Baru van Hoeve, 1994), hlm. 328
[7] Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum
Islam, Jilid III, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm. 839.
[9] Dr. Tsuroyo Kiswati, Al-juwaini
peletak dasar rasional dalam islamteologi, pt gelora aksara, Hal, 29.
[10] Sudirman M. Johan, Politik Keagamaan Dalam
Islam (Studi tentang Teori Imamat Mu’tazilat Menurut Konsepsi Abd
al-Jabbar serta Perbandingannya dengan Teori Imamat Sunni dan Syi’ah), (Pekanbaru:
Susqa Press, 1995), hlm. 106.
[12] Imam
al-Haramain, Al-Irsyad ila Qawathi’i al-‘Adillat fi Ushul al-I’tiqad,
Tahqiq Muhammad Yusuf Musa dan ‘Ali Abd al-Mun’im Abd al-Hamid, (Mesir :
Maktabah al-Khaniji, 1959), hlm. 410.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm. 411-417.
[15] Ibid., 419.
[16]
Ibid., hlm. 420-421.
[17]Imam al-Haramain, Lam’u al-Adillat..Lop. Cit
[18] Imam al-Haramain, Al-Irsyad…Op.Cit, hlm.
418.
[19] Imam al-Haramain, Al-Irsyad…Op.Cit, hlm. 418.
[20] Dikuti dari Ann K.S. Lambton, State
and Government, 76-77
[21] Ibn Khaldun,Muqaddimah,
193-194.
[22] Ibnu taymiyah, al siyasah al
shar’iyah fi isla al-ra’yi wa al-ra’iyat (Beirut: dar al kutub al ‘arabiyat,
1966),15
[23] Qamaruddin Khan, Pemikiran
Politik Ibn Taimiyah, penj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1983), 249.
[24] Abû Hasan al-Mawardi, Adab al-Dunya wa
al-Din, tahqiq Abd al-Satar Ahmad Faraj
(Beirut: Alam
Kutub, t.t.), 6.