BAB I
PENDAHULUAN
Pada masa Dinasti Abbasiyah umat Islam
mengalami perkembangan dalam berbagai bidang. Dinasti ini mengalami masa
kejayaan intelektual, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, tidak
lama setelah dinasti itu berdiri. Kekhalifahan Baghdad mencapai masa
kejayaannya antara khalifah ketiga, al-Mahdi (775-785 M), dan kesembilan,
al-Wathiq (842-847 M), lebih khusus lagi pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M)
dan al-Makmun (813-833 M), anaknya terutama, karena dua khalifah yang hebat
itulah Dinasti Abbasiyah memiliki kesan dalam ingatan publik, dan menjadi
dinasti hebat dalam sejarah Islam dan diidentikkan dengan istilah “the
golden age of Islam”[1].
Tanpa meniadakan tatanan yang telah ditinggalkan oleh Dinasti Umayyah, baik
dalam ilmu pengetahuan dan pemerintahan, Abbasiyah mampu mengembangkan dan
memanfaatkan lembaga yang sudah perna ada pada masa umayyah.
Kemajuan lain yang tat kala penting adalah
dalam bidang peradilan dimana pada masa Abbasiyah system administrasi peradilan
pada masa ini sudah tersusun dengan rapi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
lembaga lembaga peradilan yang terbentuk,. Pada masa ini.
Makalah ini akan mencoba memaparkan lebih
jauh sejarah peradilan di masa Dinasti Abbasiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Peradilan Islam Pada Bani Abbasiyah
A.
Sejarah Peradilan Islam
Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan
tradisi dan kebijakan hukum yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni
masa kekuasaan Ummayah, seperti tetap dilestarikannya badan hukum Nazar
al-Mazalim[2]
dan Lembaga Hisbah[3].
Sebagaimana Umayah yang melebarkan kekuasaannya ke berbagai penjuru kawasan,
Abbasiyah juga memperluas kekuasaannya dan sekaligus membentuk pemerintah
daerah di berbagai tempat.
Di bawah ini beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah
dalam bidang peradilan, antara lain, adalah:
1. Lembaga Qadiy al-Qudat (Mahkamah
Agung)
Lembaga Qadiy al-Qudat yang merupakan instansi
tertinggi dalam peradilan. Kalau untuk zaman sekarang bisa disebut Mahkamah
Agung. Badan hukum ini diputuskan pendiriannya sejak masa Harun al-Rasyid yang
berkedudukan di ibu kota
negara dengan tugas sebagai pengangkat hakim-hakim daerah.
Abu Yusuf
dikenal sebagai orang pertama yang dipanggil sebagai qadi al-qudah (hakim
agung). Jabatan hakim agung itu
diembannya selama tiga periode kekhalifahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, yaitu
pada masa Pemerintahan Khalifah Al-Hadi, Al-Mahdi, dan Harun Al-Rasyid. Pada masa khalifah Harun Al-Rasyid Abu
yusuf diberikan suatu kehormatan, bahwa
semua keputusan mahkamah baik di Barat maupun Timur harus bersandar kepadanya.
Jabatan hakim agung dijabat oleh Abu Yusuf hingga ia wafat pada 182 H. Sebagai
seorang hakim agung, Abu Yusuf telah banyak melahirkan karya-karya dalam bentuk
tulisan berupa kitab-kitab. Dalam “Kitab Al-Fihrist”, sebuah kompilasi
bibliografi buku yang ditulis pada abad ke-10 M oleh Ibnu Al-Nadim. Abu Yusuf
telah menciptakan sejumlah karya tulis dalam berbagai bidang, termasuk hukum
Islam, hukum internasional, dan hadis. Di antara karyanya yang monumental
adalah kitab “Al-Athar” suatu narasi dari berbagai tradisi periwayatan hadis.
Selain itu, Abu Yusuf juga menulis “Kitab Ikhtilaf Abi Hanifa wa Ibn Abi Layla”
yang isinya mengulas mengenai perbandingan fikih. Tak hanya itu, ia juga
menulis “Kitab Al-Radd 'Ala Siyar Al-Awza'i” yang merupakan suatu kitab
bantahan terhadap “Al-Awza'I” (seorang ahli hukum yang dikenal di Suriah)
mengenai hukum peperangan. Kitab lain yang ditulisnya berjudul “Al-Jawami”
merupakan buku yang sengaja ditulis untuk Yahya bin Khalid yang berisi tentang
perdebatan mengenai ra'yu dan rasio.
Beberapa
karyanya yang lain merupakan hasil penulisan kembali yang dilakukan oleh para muridnya
dan diteruskan melalui generasi penerusnya. Misalnya, kutipan dari buku Abu
Yusuf berjudul “Kitab Al-Hiyal” (Kitab Perangkat-Perangkat Hukum) yang ditulis
kembali oleh salah seorang muridnya, Muhammad Al-Shaybani, dalam buku berjudul
“Kitab Al-Makharidj fi Al-Hiyal”. murid Abu Hanifah, dan yang lainnya
yang menjadi pejabat Qadiy al-Qudat adalah Muhammad Ibn Hasan al
Syaibaniy.[4]
2. Wilayah Hisbah
a. Pengertian Wilayah Hisbah
Wilayah hisbah
dari dua kata, yaitu kata wilayah
dan hisbah, yang secara harfiah
diartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh
perhitungan.[5]
Upaya pendefinisian wilayah hisbah telah
banyak dilakukan seperti yang dikutip oleh alFarakhi, yaitu menyuruh berbuat
baik apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar
apabila nyata perbuatan itu dikerjakan.[6]
b. Satus Dan Wewenang Wilayah Hisbah
Pada masa
Abbasiyah wilayah hisbah sudah terlaksana dengan baik, lembaga ini berada di
bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang
harus diselesaikan oleh wilayah qadha. hal ini dijelaskan oleh Schacht bahwa
pada saat yang sama ketika hakim-hakim peradilan menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk
akomodasi dan muhtasib.[7]
Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga seperti
lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada di bawah lembaga
peradilan (qadha). Pada masa ini kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak
lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-qudhah, baik mengangkat maupun
memberhentikannya[8].
Sistem
penerapan wilayah hisbah, muhtasib
tidak berhak untuk memutuskan hukum sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat bertindak dalam hal-hal
skala kecil dan pelanggaran moral yang jika dianggap perlu muhtasib dapat
memberikan hukuman ta’zir terhadap pelanggaran moral. Berdasarkan hal ini
kewenangan muhtasib lebih mendekati
kewenangan polisi, tetapi bedanya, ruang gerak
muhtasib hanyalah soal kesusilaan dan keselamatan masyarakat umum,
sedangkan untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak
termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu,
muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan
dalam kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah gangguan dan
hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan masjid, dan mencegah kemungkaran
seperti minum-minuman keras, perjudian, dan lain-lain
3.
Wilayah Al-Mazalim
(penyelewengan dan penganiayaan)
Lebaga
ini dipisahkan dari
wilayah peradilan. Awalnya, penanganan masalah segala bentuk penyelewengan dan
penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang masuk perkara al-mazalim
waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul,
pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian
khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut Qadi al-Mazalim atau Sahib
al-Mazalim.
Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat,
karena disini qadhi
al-madhalim bertugas
menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali
beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan
perkara banding. Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa
perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu,
memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang
yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini
adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.
Badan ini memiliki mahkamat
al-madhalim. Sidangnya selalu dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota
sidang:
a.
Para pembela dan pembantu sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga
meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum.
b.
Para hakim yang mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak
kepada yang berhak.
c.
Para fuqaha’ tempat rujukan qadhi al-madhalim bila menghadapi kesulitan dalam
menyelesaikan masalah yang musykil dari hukum syari’at.
d.
Para katib yang mencatat pertanyaan-pertanyaan dalam sidang dan keputusan
sidang
e.
Para saksi memberi kesaksian pada masalah yang diperkarakan dan menyaksikan
bahwa keputusan yang diambil hakim adalah benar dan adil.
Pemegang jabatan ini
sendiri tidak mesti seorang hakim, memang hakim lebih didahulukan karena
pemahamannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Namun
khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa, amanah, dan
mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat sehingga kebobrokan dalam
tubuh negara bisa dihentikan. Karena
itu pejabat lembaga ini kadang kala adalah seorang menteri peperangan. Selain
itu, tugas Nazar al-Mazalim adalah:
a.
Mengawasi
penegakan hukum yang dijalankan oleh khalifah/wali terhadap warga negara,
pegawai perpajakan/departemen tertentu, jika mereka menyalahgunakan
wewenangnya.
b.
Mengawasi
terhadap distribusi bantuan pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan,
keterlambatan atau mungkin tidak sampainya bantuan tersebut.
c. Membantu
qadhi melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan.
d. Mengawasi atau menjaga keberlangsungan
praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan barang hasil curian pada
orang yang berhak.[9]
Pada masa Abbasiyah juga ditentukan
syarat-syarat qadhi al-mazalim yang menangani persoalan al-siyasat al-syari’at.
Adapun para ahli dibidang itu mengemukakan syarat-syarat qadhi al-mazalim
sebagai berikut:
A. Berkemampuan tinggi (jalil al-qadr)
B. Berkemampuan melaksanakan keputusan (nafiz
al-amr)
C. Memiliki wibawah dan pengaruh besar
(‘azhim al-haibat)
D.
Terkenal bersih
dan lurus (zhahir al-iffat)
E.
Tidak serakah (qalil al-thama’)
F.
Sangat wara’.[10]
4.
Al-Nidham Al-Madhalim
Al-Nidham
Al-Madhalim adalah yaitu
lembaga yang diberi tugas memberikan penjelasan dan pembinaan dalam hukum,
menegakkan ketertiban hukum yang berada dalam wilayah pemerintahan ataukah yang
berada dalam lingkungan masyarakat serta memutuskan perkara-perkara hukum.
5.
Badan Arbitrase
Pada masa ini, di
samping Lembaga Pengadilan, ada juga hakam-hakam (badan arbitrase) yang
memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara
kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Nazhab tahkim ini,
dibenarkan oleh Islam. Undang-undang modern pun telah banyak mengambilnya.
6.
Hakim
a.
Luasnya wewenang hakim
Perbedaan masa
Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa Khulafa’ al-Rashidin
dan masa Ummayah mereka memegang kekuasaan Yudikatif dan ekskutif, maka pada
masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Dalam artian
khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-perkara yang diajukan oleh
umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan, maka para
hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal
ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya
memikirkan persoalan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga
tidak memiliki kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung.
Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan
keahlian dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa’
al-Rashidin yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli
hukum.
Pada pada awalnya
dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh
peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur
tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang
sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah
yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otorita dan independenitas yang
tinggi. Kalau dalam masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu
luasnya, maka dalam masa ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu di
samping memperhatikan urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan urusan
wakaf, dan menunjukkan pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan
kadang-kadang para hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian,
penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas, hisbah,
pemalsuan mata uang dan bait al-mal (kas negara). Salah seorang hakim
yang terkemuka pada saat itu adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat
oleh al-Makmun.
Dalam hal ini Ibnu
Khaldun mengatakan bahwa, kedudukan peradilan selain untuk menyelesaikan
perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan
keadaan anak-anak di bawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara hukum,
seperti anak yatim, orang gila, orang failit, dan lain-lain, serta mengurus
harta-harta warisan, wakaf, menjadi wali bagi wanita-wanita yang tidak memiliki
wali dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan dan
memeriksa keadaan-keadaan saksi agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan
yang tidak.
b.
Penyebaran hakim di beberapa wilayah
Pada awalnya,
di tiap-tiap daerah diangkat seorang hakim. Akan tetapi pada masa akhir
kekuasaan Abbasiyah jumlah Qadiy al-Qudat tidak hanya satu, melainkan
lebih dari satu hal ini disebabkan munculnya beberapa pusat kekuasaan baru baik
di Mesir (Dinasti Fathimiyyah) di India (Dinasti Mughal) di Iran (Dinasti
Safawiy) di Teluk Balkan (Dinasti Ilkhan) sehingga di masing-masing tempat itu
terdapat seorang Qadli al-Qudhat yang memiliki otorita hukum untuk menangani
perkara banding yang diajukan kepadanya dalam batas wilayah negri tersebut.
Bahkan pada masa dinasti Mamluk di Mesir setiap mazhab memiliki seorang Qadiy
al-Qudat yang wewenangnya hanya terbatas di kalangan pengikut mazhabnya
saja.[11]
c.
Tempat
Persidangan, waktu dan pakain untuk hakim
Persidangan-persidangan
pengadilan pada masa Abbasiyah dilaksanakan di suatu majelis yang luas, yang
memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan
pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara. Para
hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam
waktu yang sama diadakan beberapa perbaikan, seperti menghimpun putusan-putusan
secara teliti dan sempurna. Bagi para qadhi atau ulama’ memiliki pakaian husus dalam
melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa khalifah Harun
al-Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat umum. Dalam
pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang pembantu atau
pengawal khusus yang mengatur waktu berkunjung dan waktu pengajuan perkara dan
meneliti dakwaan-dakwaan mereka
d.
Tugas
Hakim
· Memberi
penyelesaian terhadap suatu perkara yang diajukan ke mahkamah.
· Melimpahkan hak kepada pihak yang
dinyatakan benar dalam persidangan dengan keputusan qadhi.
· Menetapkan
perwalian bagi yang berada di bawah pengampuan.
· Mengkoordinir serta mengurus semua yang
berhubungan dengan harta wakaf.
· Mentanfizkan wasiat bila
yang berwasiat berhalangan.
· Menikahkan anak yatim serta orang yang
dinyatakan tidak mempunyai wali.
· Menjatuhkan hukuman hudud bagiorang yang
melanggar atau melakukan tindak pidana.
· Menangani masalah yang berhubungan dengan
masyiarakat yang berkaitan dengan eradilan.
· Menetapkan saksi dalam persidangan yang
diselenggarakan diperadilan yang berada di bawah kekuasaannya.[12]
B. Muculnya
Mazhab-Mazhab
Pada masa abbasiyah tepatnya pada
masa khlifah Al-Manshur dari Khalifah Abbasiyah merintahkan para ulama
untuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam
bidang fiqh pada pertengahan abad kedua hijriyah yaitu Abu Hanifah (w. 150 H)
yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq. Kemudian Imam Malik bin Anas
(w.179 H) di Hijaz sebagai ulama Madinah dari kalangan muhadditsin dan fuqoha’.
Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.204 H) dari Makkah dan Madinah
hingga markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke Masjid Jami’ Amru bin Ash di
Mesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qa’idah-Qa’idah
Ijtihad. Kemudian dari Madrasah Ahlul Muhadditsin dan halaqah Al-Syafi’i lahir
pula Ahmad bin Hanbal (w.241 H) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis.
Para ulama-ulama tersebut di atas juga memberikan
perhatian yang sangat besar dalam soal peradilan dan
permasalahan-permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap dan nyata. Para ulama itu merumuskan macam-macamnya, pembahagiannya,
rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut mencakup
syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya, hubungan Qadhi dengan pihak-pihak
yang berperkara dan lain sebagainya.
Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat
pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah
berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka para hakim
diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para
penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskan
perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus
perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan
Mazhab Syafi’i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai dengan
mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada
hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.
Dan terkadang pada daerah-daerah yang luas dan
penduduknya heterogen dari segi aliran-aliran mazhab, maka hakim yang
diangkatpun ada yang berasal dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari mazhab
Syafi’i, ada yang berasal dari mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhab
Hanbali dan bahkan ada yang berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebih
daripada itu seperti mazhab Syi’ah, Auza’i, Daud az-Zhahiri, Ath-Thobari, dan
lain sebagainya.
Secara umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber
putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh
karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa
Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk
menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara
berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan
apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka
hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang
berperkara.
C. Hancurnya Tatanan
Peradilan Pada Masa Abbasiyah
Kemerosotan nilai peradilan dan kekuasaan hakim merupakan
pemicu hancurnya tatanan peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah yang telah
tertata dalam waktu yang tidak singkat seirirng dengan keadaan pemerintahan
sudah sangat rusak. Kerusakan telah
merata dan urusan peradilan pun tidak luput dari kerusakan. Orang-orang yang
diangkat menjadi hakim, diharuskan membayar sejumlah uang kepada pemerintah
pada tiap-tiap tahun.[13]
Dengan lemahnya pemerintahan, maka lemah pula kekuasaan hakim
dan berangsur-angsur surut daerah hukum yang menjadi wewenang hakim.
Terus-menerus keadaan ini berangsur-angsur surut, hingga merosot sampai pada
hanya menyelesaikan soal-soal sengketa dan soal-soal ahwal al-shahshiyah (hukum
keluarga) saja.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis
ambil kesimpulan bahwa peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah mengalami puncak
perkembangannya karena lahirnya empat madzhab dan konstruk peradilan
dilaksanakan secara sempurna, sebagai bagian dari institusi pemerintah, dan
lebih rapi secara administratif dengan dibentuknya badan-badan penunjang
lainnya, Di antara perubahan-perubahan yang lahir dalam dunia peradilan di masa
ini, adalah :
a.
Lahirnya bebrapa lembaga, seperti wilayah hisbah,
wilayah al-mazhalim, alnizam Qadhil Qudhah yang pada masa sekarang ini dapat
kita katakan sebagai Menteri
kehakiman dan lain lain.
b.
Membagi daerah-daerah kekuasaan seorang hakim
c.
Menggunakan tempat yang memenuhi syarat untuk Mahkamah
d.
Adanya Bidang-bidang wewenang hakim
B.
Penutup
Demikianlah makalah ini penulis buat semoga bermamfaat dan apabila
terdapat kesalahan dan kekurangan penulis mohon untuk dimaafkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Shiddiqie, Teuku Muhammad Hasbi. Peradilan dan
Hukum Acara Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
Ibrahim Hassan,
Hassan, Tarikh al-Daulah
al-Fathimiyah, Kairo: Al-Maktabah al-Mukhashshah alMishriyah, 1993
Ma’luf, Louis, Munjid fi al-Lughah wa al-Ilm, Beirut: alMaktabah al-Syarqiyah,
1986
Ma’arif,
Ahmad Syafi’I, M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,
Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Schacht, Joeseph, An Introduction, to
Islamic law, Clarendon Press,
1964,
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam:
Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Ya’la Muhammad Ibn al-Husein al-Farakhi, Abu, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Mesir: Dar
al-Fikr, TT
[1]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000), h. 52; Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007), h. 149.
[2] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan
( Bandung: Remaja
Rosda karya, 2007), h. 56.
[3]. Dalam Lembaga Hisbah, pejabat yang
memegang lembaga ini disebut Muhtasib, bukan merupakan lembaga atau badan
peradilan dalam pengertian rinci seperti halnya badan peradilan biasa atau nazar
al-mazalim. Tetapi lembaga ini merupakan lembaga keagamaan murni yang
didasarkan pada seruan untuk melaksanakan kebajikan dan meninggalkan perbuatan
yang munkar. Oleh lembaga hisbah diterjemhakan menjadi “kewajiban-kewajiban
praktis yang sesuai dengan kepentingan umum kaum muslimin”. Ibid. h. 58.
[5]. Louis
Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa al-Ilm
(Beirut: alMaktabah al-Syarqiyah, 1986), hal. 282.
[6] Abu
Ya’la Muhammad Ibn al-Husein al-Farakhi,
Al-Ahkam al-Sulthaniyah (Mesir: Dar al-Fikr, TT), hal. 320.
[8]. Hassan
Ibrahim Hassan, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah
(Kairo: Al-Maktabah al-Mukhashshah alMishriyah, 1993), hal. 363.
[9] Teuku
Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 22-26.
[10].
Ibid, hlm, 64
[11]. Ibid
[12]. Op.Cit, hlm, 62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar